Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

PAN dan Perilaku Transaksional Politik

15 Agustus 2018   10:21 Diperbarui: 15 Agustus 2018   10:42 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Transaksional dalam politik sebenarnya hal yang wajar, normal, dan salah satu ciri khas ketika memang kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan berpolitik. 

Politik itu cair, dinamis, tidak ada kawan abadi adanya kepentingan yang sama, atau tidak ada makan siang yang gratis. Iya, semua itu benar adanya, diyakini, bahkan seolah kredo, syahadat, dan keyakinan tertinggi berpolitik. Apa iya demikian?

Ada faham fasis, di mana hasil itu membenarkan cara. Artinya cara atau prosesnya tidak menjadi pertimbangan di dalam menggapai hasil. Apa bedanya coba jika mainkan banyak kaki, yang penting mendapatkan kedudukan. Tidak kerja keras hanya mau hasilnya saja dan ketika ada kesulitan atau kerja menghindar?

Dari banyak parpol. Perpindahan ke kelompok yang menguntungkan itu tidak sedikit, ada Golkar, P3, dan terakhir PAN. Ada pula yang  sebenarnya sudah menjajaki namun rupanya tidak jadi. Sangat normatif dalam berpolitik. 

Demokrat juga melakukan ketika adanya KMP dan KIH mereka memlokamirkan diri sebagai penyeimbang, tapi mendapatkan jatah pimpinan di dewan dan majelis. 

Golkar juga mendapatkan jatah ketua dewan dan dapat menteri, beda dengan P3 yang tidak dapat dewan dan majelis, namun mendapat menteri, hal wajar, biasa dalam politik.

PAN sangat spesial, bagaimana mereka mendapatkan jatah pimpinan dewan dan mendapatkan menteri, kemudian meninggalkannya karena tidak mau mengusung yang pernah mereka dukung ketika mendapatkan menteri. Jauh lebih bermartabat ala PKS dan Gerindra yang memang tekun di dalam memilih jalur yang berbeda.

Perilaku PAN ini memang sejatinya sejak awal sudah nampak "tidak beres". Jauh sebelum pilpres 2014, Amie Rais yang jauh lebih "berkuasa" daripada ketua umum pernah menyebutkan pasangan Jokowi Hatta bak Sukarno Hatta, tanpa menyebut mengapa Jokowi sama dengan Sukarno, sedangkan Hatta keduanya ahli ekonomi yang dinyatakannya. Tidak lupa juga menyebutkan nama lain yang bisa saja bersama Hatta. Dan akhirnya bersama dengan prabowo. Itu 2013, masih gubernur Jakarta, jauh dari pilpres sebenarnya. Berita ini bisa dicek di media via Google.

Pilihan realistis ternyata bersama Prabowo, entah mengapa, yang jelas Jokowi bersama JK. Pergantian pimpinan mengikuti usainya pilpres dan gerbong berlaih ke besan Amien Rais menggantikan Hatta dan PAN mendukung pemerintahan Jokowi-JK dengan mendapatkan jatah satu menteri. Sangat wajar dengan perilaku demikian. Ada juga Golkar dan P3 juga.

Memasuki tahun pemerintahan berjalan, lepas dari kementrian dan si menteri, perilaku PAN di legeslatif dan elit parpol ternyata jauh dari Golkar dan P3. 

Dalam isu-isu strategis, mereka kadang jauh lebih "galak" daripada Gerindra dan PKS. Soal pansus KPK, mengenai ormas radikal, dan banyak lagi, cerminan mereka yang memang berperilaku berbeda dengan partai lainnya.

Mengapa transaksinal itu lebih kuat di dalam demokrasi Indonesia?

Politik biaya tinggi. Jelas sangat mahal untuk berpolitik di sini. Apa-apa doit, dengan berbagai dalih dan istilah, mahar, logistik, biaya kampanye, uang bensin, uang makan, dan seterusnya dan seterusnya. Apakah ini ideal? Jelas tidak. Politisi baik dan berdasar prestasi tidak sedikit, jika model demikian tentu bisa menjadi murah, belum lagi ada subsidi dari negara.

Eksekutif lebih menjanjikan daripada legeslatif. Jelas saja, pengguna anggaran itu eksekutif, legeslatif hanya menjadi "anjing penjaga" yang kadang berteriak dan dapat kucuran sedikit, lihat pengalaman periode lalu di mana kedua sisi masuk bui bersama. Tetap menjanjikan sisi eksekutif. 

BUMN sebagai ATM tetap akan hanya menjadi rumor bak kentut, bau menguar busuknya, namun ketika diusut susah menemukan inti masalahnya. Yang jelasnya dibuat tidak jelas, padahal jelas banget sebenarnya.

"Oposisi" itu kering, karena model sistem bernegara yang kacau balau, parlementer bukan namun parkemen sok berkuasa, presidential, pun dewan masih bisa menggertak dan mengancam. Sikap mendua ini sangat disukai untuk bisa mengeruk kekayaan negeri. 

Politikus bekerja di dalam sistem politik bobrok yang dikembangkan dan dipertahankan. Sistem ini akan dilestarikan karena menguntungkan mereka. Paling tidak membuat sama-sama tahu. "Oposisi" hanya nyanyi dan ketika mendapatkan saweran ya diam lagi, paling tidak sudah 10 tahun berjalan baik.

Penegakan hukum yang masih berkutat pada tarikulur politis. Satu dua elit parpol ditangkap tangan. Tapi ya begitu saja hiruk pikuk di awal dan lupa. Penegakan hukum bak hangat-hangat tai ayam. Gaduh, ribut, riuh di awal dan ketika berkaitan dengan elit negeri atau politik, ya tinggal adu nasib, atau ada yang pasang badan dan seolah mereka sorangan dalam bertindak.

Coba saja jika ramai-ramai sel mewah itu diusut dengan serius, bukan semata kalapas, namun benar-benar menyeluruh, siapa yang mendanai, mengapa tetap bisa bermewah-mewah, semua akan terkuak. Namun apa mau?

Kehendak baik tidak ada. Jika memang mau, pembuktian terbalik lakukan, dan usai sudah perilaku tamak dan kotor politik. Politik bersih memiliki harapan baik untuk bisa berkembang dan bertumbuh.

Memisahkan penegakan hukum dan penyelesaian politis dengan baik. Jangan tarik ulur politik, saling sandera politik, membuat penegakan hukum terhambat. Jika ini terjadi, transaksional dalam berpolitik tentu jauh lebih baik.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun