Menarik kontestasi pilpres mendatang, ketika "lahir" dengan gegap gempita soal Post-Islamisme. Sejatinya bukan istilah baru-baru amat, dan bukan mengaji soal itu juga.Â
Tanya Tante Wiki atau Mbah Gugle melimpah info soal itu. Mengapa menarik, ternyata sekolah pribadi yang disemati santri Post-Islamisme itu dari sekolah yang dikelola Bruder FIC, SMA Pangudi Luhur Jakarta.
Tulisan ini berasal dari pertanyaan keponakan kalau salah satu cawapres itu alumnus PL Jakarta, demi validitas data, tanya pada Kompasianer yang alumus Jakarta Om Joko yang membenarkan memang demikian. Ketika mau mengangkat tema ini, eh malah oleh Om Joko diberi tambahan data Kompas cetak Minggu menampilkan alumni SMA PL Jakarta membuat applikasi umroh.
Apakah mau bermegah karena sekolah Katolik, merasa ikut berjasa, atau merasa ikut yang lainnya? Ah jelas tidak, namun bagaimana pendidikan yang dikelola oleh yayasan Katolik, baik bruder, suster, atau imam Katolik, pun awam Katolik, jauh dari pemaksaan untuk menjadi Katolik. isu krestenisasi sudah terbukti tidak demikian.
Siapa Bruder FIC itu?
FIC itu tarekat, atau organisasi dalam Gereja Katolik yang anggotanya mengikrarkan kaul. Biarawan yang bukan imam. Karya mereka di Indonesia merupakan bagian atas karya di dunia.Â
Biarawan dari belanda ini memegang karya pendidikan di Keuskupan Palembang yang ada di Belitang, Sumatera Selatan. Keuskupan Agung Jakarta dengan SMA laki-laki PL itu. Keuskupan Agung Semarang yang meliputi Surakarta, Semarang, Kedu, dan Yogyakarta.Â
Karya mereka yang besar ada di Muntilan dengan SMA Van Lith, Semarang dengan SMP Domsav, Solo dengan SMP BL, dan kedua kota tersebut SMA-nya biasa saja. Kecuali SMA Van Lith, murid yang belajar di sana sangat beraga agamanya, kalau suku dan asal usul jelas Van Lith pun beragam.
Salah satu yang tenar juga alumnus Pangudi Luhur adalah terpidana korupsi di kemenhub beberapa waktu lalu. Dunia pendidikan itu memberikan bekal, soal masa depan dan jadi apa tentunya akan tergantung pribadi itu masing-masing.
Pangudi Luhur Jakarta yang melahirkan Santri Post-Islamisme itu hanya menjalankan perutusan tarekat dalam bidang pendidikan. Selain dunia pendidikan, Bruder FIC memiliki karya Panti Asuhan, di sanapun anak-anak panti nampaknya tidak dipaksakan menjadi Katolik.
Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi jalan bagi karya biarawan-biarawati, pun religius yang berasal dari Belanda waktu itu. Kalau memang ada yang mau ikut menjadi Katolik pun tidak akan serta merta, apalagi hanya karena diberi beras, ingat dulu belum ada mie instan, dibaptis. Ini entu bukan membual, tanya masing-masing alumni dari setiap pendidikan Katolik, dan itu tidak hanya satu dua.
Pendidikan Katolik sangat menjunjung pluralisme, di mana anak didik dikembangkan untuk semakin kuat dalam agama mereka. Memang pendidikan religius atau pendidikan agama akan diberikan sesuai dengan misi Yayasan Pendidikan Katolik, namun itu dari segi kognisi pengetahuan, bukan praksis, apalagi ibadahnya. Sama sekali tidak demikian.
Sekolah-sekolah Yayasan Katolik jelas awalnya dibangun untuk membantu peran pemerintah yang kala itu belum mampu memberikan layanan pendidikan baik dan murah. Sebenarnya hal yang sangat wajar ketika kini banyak sekolah tersebut tutup, ingat soal motivasi didirikan.Â
Kala pemerintah dan negara sudah mampu memberikan ruang dan pendidikan bagus, mumpuni, dan terjangkau, karya biarawan bisa beralih ke tempat di mana memang membutuhkan. Ini inti pendidikan Katolik sejatinya.
Pendidikan itu menghasilkan orang yang berkualitas, dalam pengetahuan, ketrampilan, pun agama seturut yang ia anut dan yakini. Nah terbukti bukan apa yang dihasilkan YPL Jakarta dengan pribadi Sandiaga Uno menjadi salah satu bakal cawapres, oleh partai pengusungnya ia merupakan santri Postislamisme. Â Apa yang diberikan sekolah tidak mengubah anak didik untuk mengikuti ajaran agamanya, dan itu tidak bisa disangkal.
Apakah akan ada pembiasan asal sekolah? Sangat mungkin, tetapi di dalam buku induk sekolah, di dinas terkait masih ada bukti itu. Bukti sahih jika ijazah hilang, akan diterbitkan surat pengganti oleh dinas terkait, tentunya dinas memiliki catatan atas nama pribadi itu. Â Tentu tidak akan seekstrem itu fakta yang terjadi.
Memang kalau sekolah di Katolik, apakah kadar keimanannya luntur? Atau sebaliknya, ketika sekolah di negeri atau yayasan lain akan menjamin lebih beragama dan beriman? Â Menjadi aneh dan lucu ketika label menjadi lebih penting dan menentukan. Coba bayangkan kita beli kacang goreng itu membeli kacangnya, atau labelnya yang bergambar menarik?
Kadang rindu zaman lau, di mana orang tidak pernah meributkan label, mengaitkan label dengan jabatan ini dan itu, apalagi hanya karena sekolahnya. Atau sekolah juga tidak melihat siapa pengelolanya, pokoknya bagus, terjangkau, bisa lolos seleksi, masuklah ke sana. Apa yang telah koyak sekian lama itu, nampaknya masih perlu waktu untuk bisa kembali menjadi baik dan bagus.
Pemilu menjadi sarana untuk mempersatukan bukan malah memisahkan, menjadi ajang untuk berlomba di dalam kebaikan bukan malah dalam kejahatan dan keburukan. Akan ke arah yang mana? Patut kita tunggu.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H