Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demokrat, Pagi 10 Agustus 2018

10 Agustus 2018   07:19 Diperbarui: 10 Agustus 2018   13:16 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini nampaknya Demokrat akan demikian. Mau sisi manapun, baik mendukung Prabowo-Sandi atau Jokowi-MA tetap saja hanya menjadi penonton setia. Kematangan strategi dan berhitung SBY sudah dipahami dengan baik oleh rival politik. 

Kecerdikan mengulur waktu yang diterapkan incumbent dan tarik ulur dari kubu nonpemerintah membuat Demokrat tersandera. Hitung-hitungan politik dengan 61 kursi memang seolah besar namun ketika berhadapan dengan koalisi, yang berarti banyak pihak, ya bisa kalah dan tidak mendapatkan apa-apa.

Apa yang menimpa Demokrat 2004, dan pilkada 2017 itu tidak bisa atau susah diterapkan di pilpres 2019. Keadaan dan kalukulasi politik jauh berbeda. 

Suara 25% itu sudah sangat ruwet karena tarik ulur pun dengan 20% kursi nasional, sangat susah untuk menjadi tiga poros ketika banyak kepentingan untuk menjadi RI-1 dan RI-2,  dan anehnya semua seolah berebut RI-2, sangat aneh, periode-periode lampau masih cukup banyak yang percaya diri nyapres, ini sangat aneh.

Bijak bila SBY dan Demokrat lebih baik "titip" AHY pada siapapun koalisinya, jika tidak ikut dalam kabinet, misalnya dimasukkan dalam jabatan-jabatan strategis yang bisa menampilkan sosok dia sebagai pemimpin sipil. Mau ke kubu Jokowi ataupun Prabowo, nampaknya kursi menteri malah makin jauh dari rengkuhan AHY.

Sebenarnya jauh lebih efektif bagi SBY mengader AHY ketika usai gagal di Jakarta adalah masuk pada pilkada serentak 2018. Di Jatim memang sudah plot politis Khofifah, bisa saja di Jabar atau Sumut yang kemarin ada kesempatan sebenarnya. Mengapa demikian?

Demokrat bukan era 2009 yang sedang ada di puncak, ini justru makin meredup dengan berbagai-bagai tiupan angin skandal korupsi. Belum lagi keberadaan AHY yang demikian "dipaksakan", banyak yang tidak respek lho, hanya karena nunut urip mereka iya-iya saja. Kondisi ini harus diperbaiki pelan-pelan, jika sukses, pintu pilpres terbuka lebar dan mudah.

Kekecewaan banyak parpol dan pihak yang biasa "ditelikung" SBY. Tentu saja hal ini tidak akan ada pekemnya, politik sangat biasa, namun toh suatu waktu juga akan dibalas dengan cara yang sama. Sayang bukan  keberadaan Demokrat dan AHY jika hancur sebelum apa-apa seperti ini. Tidak banyak membantu bagi Demokrat untuk pulih, pun AHY sudah susah untuk apa-apa.

Nasi telah menjadi bubur, toh makan bubur tidak lapar juga, memang tidak akan enak jika mau digoreng atau dijadkan nasi kuning, paling tidak masih bisa mengganjal perut. Jangan sampai lagi memutuskan terlalu lama, dan juga eh malah tergesa ketika kesimpulan akhir. Masih ada 3-6 jam untuk memilih yang terbaik. Ke kubu Jokowi paling realistis dengan arus dukungan yang berasal dari bawah dan daerah yang selaras.

Tidak perlu banyak mengumbar kemarahan sehingga menimbulkan perselisihan dan friksi yang tidak perlu. Jenderal kardus kemarin cukup berlebihan sehingga poros ketiga hancur sebelum terbentuk. Pengalaman berharga berpolitik agi kader Demokrat.

Patut ditunggu, 2-3 jam apakah merapat ke Jokowi atau usai Jumatan yang dipakai SBY, sebgai kado ultah sang putera.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun