Apa yang terjadi semalam, dengan saling serang dan  balas-balasan soal jenderal kardus, putera mahkota yang harusnya ditangkap KPK, politik uang 500 M, dan seterusnya dan seterusnya, apakah masih sehat perpolitikan ini? Sangat tidak patut apalagi selama kurang lebih empat tahun ini pun soal demikian seolah biasa, plonga plongo, antekasing dan aseng, bodoh, pengibul, partai setan, dan seterusnya yang berbau anarkhi dan aura negatif.
Dinamika adu pinalti yang menjelang ini memang akan meninggi, dengan perseteruan elit level menengah ini tentu akan membuat friksi yang tidak kecil pengaruhnya bagi akar rumput.Â
Mereka, level-level wakil di pusat itu bisa saja nanti makan empek-empek bareng, ngopi bareng, kalau mabuk bareng sih enggak, tertawa-tawa, berangkulan, padahal akar rumput itu belum sepepuhnya paham dengan kejadian sebelumnya.Â
Gerbong ini terlalu besar, sayang hanya dinikmai loko yang segelintir itu, dan gerbong utamanya sering membuat bias. Gerbong terakhir di sana hanya menerima kemabukan karena ugal-ugalannya yang ada di depan.
Demokrat yang paling meradang dan erasa diperlakukan dengan tidak adil, layak menyuarakannpaling keras dan cepat. Padahal ingat ini soal politik, bukan lamaran pacar, ketika tahu belangnya pasti akan ditinggal dan batal.Â
Politik di sini bisa saja pagi ini Pak Prabowo dan Pak Beye berpelukan dan mengatakan, ah biasa dinamika anak-anak muda. Modyaaar.... lebay dan berlebihan terutama Andy Arief dan Puyuono dalam bersikap yang menuduh ini dan itu.
Bayar 500 M ke PAN dan PKS. Â Hal yang sangat wajar dan biasa banget. Nah ketika akhirnya AHY bersanding dengan Prabowo, bagaimana sikap PKS dan PAN coba. Tetap masih ada peluang, kemudian jika Demokrat benar-benar marah dan mengambil opsi meninggalkan Prabowo, apa bisa PAN membantu mendukung AHY jadi alternatif misalnya. Â Malah membuat lubang sendiri, ketika kristal itu masih ada cairan yang belum sepenuhnya mengristal. Politik emosional masih lebih kuat.
Puyuono, yang memang sengit sejak awal dengan mayor si boncel itu kembali menyerang dengan telk dengan menyebut nama Ibas yang akan diKPKkan olehnya. Hambatan psikologis seperti ini, mayor si boncel belum selesai dengan baik ditambah persoalan lain. Kemarin demokrat masih menafikan sebagai toh nanti jadi "besan-ipar" bolehlah. Lha kalau benar-benar jadi berpisah? Lagi-lagi emosional.
Poros alternatif atau apapun namanya. Apa masih mungkin?
Semua dalam politik yang abai etika sih masih mungkin. Malasahnya adalah hambatan psikologis karena emosional kader seperti ulasan di atas. Demokrat tentu akan jadi leader dengana 61 kursi. Kekurangan 51 kursi ini susah diperoleh oleh satu parpol.Â
Yang masih sangat mungkin keluar dari kebersamaan bagi sisi Pak Jokowi atau Pak Prabowo  hanya memiliki 49 kursi pada PAN dan malah hanya 47 kursi dari PKB. Hanya dua parpol tersebut masih ada kesempatan untuk bisa dilirik untuk membentuk alteratif.
Jika perlu dua partai tersebut, sedang Andi sudah menohok PAN dengan dugaan 500 M, meskipun sangat mungkin akan dikatakan guyon, masih ada kendala lain. Jika pendaftaran slaah satu paslon itu tengah malah esok hari. Karena mereka pun perlu PKB. Keberadaan PAN dengan Hatta masih cukup berpengaruh masih bisa diatur soal emosional sesatnya, namun jika waktu, memang susah.
Sisi PKB pun tidak berani meninggalkan kebersamaan di sisi Jokowi dengan masih adanya harapan untuk menjadi pendamping Jokowi. Hal yang cukup pelik ini dan itu sangat mungkin terjadi. Toh kalkulasi hitung-hitungan politis jauh lebih aman bersama-sama Jokowi, minimal menteri masih lah dapat. Koalisi atau poros alternatif sangat kecil kemungkinannya bisa mendapatkan pemilih dengan dinamika model demikian.
Sangat kecil bukan berarti tidak mungkin, tetapi hambatan psikologi Demokrat baik bergabung dengan Gerindra, ataupun mengusung alternatif sangat kuat. Pun jika mendekati Jokowi apalagi makin tidak kecil hambatannya.
Jauh lebih realistis Demokrat tetap bersama Gerindra dan kawan-kawan, pos menteri jauh lebih menjanjikan, dan konsentrasi pada pileg. Pileg juga penting, coba bayangkan memiliki wapres misalnya, tetapi jeblok di pilihan legeslatif, bagaimana partai memiliki muka.
Waktu normal sudah menjelang ini, ingat Nuer dari Jerman yang maunya menjadi penyelamat, eh malah menjadi bluder, lebih baik Demokrat konsentrasi pada gelaran 2024. Jauhi hiruk pikuk yang memunculkan polemik lagi.
Memang mereka ahli dalm playing victim, toh tidak akan mesti berhasil, melihat juga kondisi dan keadaan berbeda-beda tentunya.  Daripada gagal total,  lebih baik dapat sesuatu yang bermakna.
Hentikan caci maki dan saling tuduh yang tidak karuan. Kalau jadi "besan" pa yo tidak sungkan. Politik ini  bukan kawinan.
Jauh lebih realistis menitipkan AHY jadi menteri di kabinet siapapun, dan moncer di sana, daripada tidak sama sekali. Pilihan jangan emosional pun rasional sepenuhnya juga, sisi rasa juga penting. Di sini point penting bagi Demokrat, salah langkah habis.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H