Menikmati politik menit terakhir, seperti menunggu gol dalam sebuah pertandingan sepak bola. Sebelum peluit berbunyi dan ada gol pembeda tentu sangat mendebarkan. Apalagi jika pertandingan basket NBA yang dalam seperkian detik bisa memberi pembeda.
Sensasinya berbeda karena basket cenderung banyak point atau bola, debarannya lebih mengena jika sepak bola. Nah Pak Beye ternyata suka banget dengan model ini. Beberapa kali  membuat trik demikian. Menguntungkan atau malah buntung?
Pak Beye yang penuh perhitungan ini pasti akan lama di dalam memutuskan sesuatu. Nah di sinilah pentingnya ketenangan dan kesabaran, sehingga semua parpol sudah bingung dan pusing ke sana ke mari, Pak Beye tinggal mengamati dan kemudian memutuskan oh di sana lebih ada peluang dan kemudian menangani hal teknis kecil-kecilan, karena yang besar-besar sudah diselesaikan pihak lain yang sudah berjibaku sekian lama. Mayan.
Beberapa fakta pilihan last minute bisa disebutkan, ketika beliau mau menyalonkan diri menjadi presiden pada tahun 2004. Tiba-tiba mundur dari kabinet, mendirikan partai, dan maju sebagai salah satu penantang dii dalam pilpres. Menang dan hingga akhirnya dua periode.
Pilpres 2014, kondisi compang-camping terpaan korupsi, tidak memiliki nama yang cukup menjual untuk menjadi jagoan, hasil pun jauh dari harapan, bahkan terlempar dari tiga besar. Menjadi harapan satu  tentu bukan ekspektasi Pak Beye.Â
Konvensi tiada ujung dan menyatakan diri netral. Namun di tengah kecamuk perebutan KMP vs KIH yang kekanak-kanakan itu Demokrat mendapatkan jatah wakil pimpinan dewan dan majelis. Mayan, dengan menendang jauh-jauh P3 yang bekerja keras bersama Prabowo dan kawan-kawan.
Pilkada DKI dengan AHY sebagai calon. Riuh rendah soal pilkada diam saja, kemudian menarik sang putra dari tugas militer kemudian disandingkan dengan birokrat di pilkada Jakarta. Tereliminasi, dengan kisha yang berbeda dengan kisah sang bapak tentunya.
Kini 2019 pun nampaknya demikian akan dipakai pola yang sama. Beberapa pihak jelas meradang, bagaimana PKS mengingatkan Gerindra khususnya Prabowo untuk mengingat kalau Demokrat itu kawan yang baru datang. Sangat wajar jika demikian.
Keuntungan sesaat dan rugi dalam jangka panjang. Belajar dari P3, yang merasa "dicurangi" dan kemudian berbalik arah, mendapat satu kursi menteri, dan tanpa pimpinan dewan dan majelis malah nampaknya memiliki harapan lebih kuat. Beberapa hal sebagai bukti bisa dicerna,
Suara Gus Romi jelas lebih menggema daripada AHY yang malah belum bisa mau dengan siapa. Meskipun secara realitas keduanya sama saja peluangnya. Yang membedakan brand Gus Romi sebagai salah satu kandidat kuat pendamping Presiden Jokowi lebih jelas. Sama-sama level penggembira, namun bagi pemilih jelas lebih yakin dengan Romi dibanding AHY yang belum pasti arahnya, hingga menghitung hari.
Kondisi P3 jelas lebih kondusif selama menjelang gelaran pilkada dan pilpres-pileg. Gejolak internal tidak seriuh rendah Demokrat. Sedikit banyak ini juga karena pilihan di dalam kebersamaan pemerintahan, di luar, atau ombang-ambing. Demokrat tentu banyak yang bingung dengan pola SBY yang kanan kiri oke ini. kesabaran akar rumput dan bawah Demokrat menjadi masalah sehingga timbulah kemarin daerah-daerah memutuskan lebih dulu.
Demokrat memang dalam arti kekuasaan dan jangka pendek sangat menguntungkan model pragmatisme ini. Padahal pragmatisme yang diambil 2004 dan 2014 sangat berbeda dengan 2017 dan 2019. Kondisi 2004 masih dalam taraf kondisi bangsa masih belum stabil benar baik politik, ekonomi, sosial, dan banyak  lagi. Seolah harapan usai sipil ternyata tidak berdaya sebagaimana ekspektasi rakyat yang masih kuar eforia menumbangkan rezim militer. Jauh berbeda.
Keadaan 2014 pun KMP memerlukan dukungan lebih besar untuk "sabotase" parlemen. Â Tambahan 61 kursi dengan menenggelamkan 39 kursi P3 dinilai sangat menggiurkan dan sangat dominan. Benar hitung-hitungan matematis memang demikian. Dengan menyodorkan kursi pimpinan dewan dan majelis, P3 yang berdarah-darah jadi seolah anak tiri. Â Politik jelas tidak akan abadi dengan model demikian, dan kemudian rontok.
Pola pragmatis demikian tentu akan memberikan celah kecewa dan sakit hati bagi pihak yang tertendang. Memang politik bukan ranah rasa dengan baper, dan sakit hati, bagaimana kinerja di dalam meyakinkan pihak-pihak lain demi mendapatkan keuntungan. Susah juga di mana alam demokrasi masih belum bertumbuh. Di sini lah pembedanya, dan mesin partai yang kebingungan jelas tidak akan kerja maksimal.
Perselisihan makin membesar dan hal yang awalnya wajar bisa menjadi blunder bagi kesolidan partai. Ingat bagaimana Ruhut, Hayono, loyalis Anas, eksodus caleg yang cukup signifikan suaranya pada pileg lalu, dan dukungan pada Jokowi oleh kader potensial daerah. Terakhir ini, dukungan kader potensial tentu akan menggerus suara untuk pileg mendatang.
Secara kalkulasi politik model Demokrat alias Pak Beye ini sangat merugikan untuk jangka panjang. Memang dalam waktu singkat, jelas hasilnya seolah menjanjikan. Perkembangan untuk partai justu buruk.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H