Demokrat memang dalam arti kekuasaan dan jangka pendek sangat menguntungkan model pragmatisme ini. Padahal pragmatisme yang diambil 2004 dan 2014 sangat berbeda dengan 2017 dan 2019. Kondisi 2004 masih dalam taraf kondisi bangsa masih belum stabil benar baik politik, ekonomi, sosial, dan banyak  lagi. Seolah harapan usai sipil ternyata tidak berdaya sebagaimana ekspektasi rakyat yang masih kuar eforia menumbangkan rezim militer. Jauh berbeda.
Keadaan 2014 pun KMP memerlukan dukungan lebih besar untuk "sabotase" parlemen. Â Tambahan 61 kursi dengan menenggelamkan 39 kursi P3 dinilai sangat menggiurkan dan sangat dominan. Benar hitung-hitungan matematis memang demikian. Dengan menyodorkan kursi pimpinan dewan dan majelis, P3 yang berdarah-darah jadi seolah anak tiri. Â Politik jelas tidak akan abadi dengan model demikian, dan kemudian rontok.
Pola pragmatis demikian tentu akan memberikan celah kecewa dan sakit hati bagi pihak yang tertendang. Memang politik bukan ranah rasa dengan baper, dan sakit hati, bagaimana kinerja di dalam meyakinkan pihak-pihak lain demi mendapatkan keuntungan. Susah juga di mana alam demokrasi masih belum bertumbuh. Di sini lah pembedanya, dan mesin partai yang kebingungan jelas tidak akan kerja maksimal.
Perselisihan makin membesar dan hal yang awalnya wajar bisa menjadi blunder bagi kesolidan partai. Ingat bagaimana Ruhut, Hayono, loyalis Anas, eksodus caleg yang cukup signifikan suaranya pada pileg lalu, dan dukungan pada Jokowi oleh kader potensial daerah. Terakhir ini, dukungan kader potensial tentu akan menggerus suara untuk pileg mendatang.
Secara kalkulasi politik model Demokrat alias Pak Beye ini sangat merugikan untuk jangka panjang. Memang dalam waktu singkat, jelas hasilnya seolah menjanjikan. Perkembangan untuk partai justu buruk.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H