Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Siapa yang Ecek-ecek, Anggota Dewan, KPK, atau OTT Korupsinya?

22 Juli 2018   15:48 Diperbarui: 22 Juli 2018   16:11 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu anggota dewan berkomentar kalau OTT kalapas Sukamiskin itu ecek-ecek dan KPK mau jadi  dagelan. Nah dari sini mau dilihat siapa yang ecek-ecek, anggota dewannya, korupsinya, atau KPKnya?

Begini, korupsi itu bukan masalah jumlah uangnya banyak atau sedikit. Kecil atau besar, namun adanya penyelewengan jabatan, adanya suap, dan adanya kerugian negara. Atau juga ada kerjasama jahat untuk keuntungan pihak lain dan merugikan negara. Nah mau seribu rupiahpun sejatinya sudah korupsi dan itu serius bukan ecek-ecek.

Malu sebenarnya mengatakan. Contoh tuh, Jepang atau Eropa, baru diindikasikan pun sudah mundur saking malunya. Indikasi, atau disebut berarti belum tentu, lha di sini jelas-jelas OTT karena kecil nilai uangnya dianggap ecek-ecek. Padahal nilai uang segitu bukan ecek-ecek kalau untuk rakyat, anggota dewan sih kecil wong gak kerja, hanya nerima doit. (gak semua sih).

Apakah KPK ecek-ecek dan membuat lelucon? Ah tidak lah. Lihat wamen periode lalu sudah sidak dan juga tahu keadaan yang identik, toh masih terulang lagi dan lagi. Justru ini keren, KPK paling jarang bisa dikadalin maling model begini. Kejadian ada pada ranah kementrian Menkum HAM. Benarkah yang dilakukan KPKecek-ecek?

Di sana ada penyelahgunaan jabatan oleh penyelenggara negara dengan dugaan menyewakan kamar yang harganya entah tidak menjadi penting karena jelas pejabat menyalahgunakan wewenang. Mau gratis kalau kunci dipegang napi ya jelas salah, bukan soal nilai uangnya.

Ada napi yang memiliki kulkas, ac, padahal itu tentu akan merugikan pihak lain, ingat mereka juga pakai listrik kan, siapa bayar? Negara, yang menerima uang siapa? Nah ini apa tidak dipahami oleh anggota dewan yang terhormat itu? Atau hanya asal bicara? Belum lagi yang membuat narkoba dulu itu, bagaimana pertanggungjawabannya? Paling banter kalapas dicopot. Ini soal karakter dan etos kerja yang buruk, tidak soal berapa nilai uang.

Nilai uang dan barang yang disita atau ditangkap tangan seharusnya bukan menjadi takaran bahwa itu kinerja baik atau buruk. Mengapa? Rasa malu seharusnya ketika mendengar KPK masih saja menangkapi orang. Malu, bukan malah dicemooh. Bagaimana tidak malu ketika ada maling karena tamak, ingat beda maling ayam karena lapar, eh masih ada pembelaan hanya segitu.  Maling karena tamak itu dobel kesalahannya, bukan karena mempertahankan hidup tapi gaya hidup. Beda secara moral ini sangat parah, apalagi yang seolah membela itu.

KPK tetap semangat dan melaju dengan caranya. Mau kecil atau besar tidak ada UU yang mengaturnya. Semua maling kekayaan negara dan penyelenggaran negara yang maling entah caranya tetap menjadi bidikan KPK. Apalagi ketika Saber pungli, kepolisian, atau satgas-satgas lainnya tidak mampu menjangkau. Sisi lain rakyat masih butuh listrik, eh di lapas buat pesta pora maling dan berulang lagi.

Lapas belum memberkan efek jera karena sistem yang masih amburadul. Ini lagi-lagi sikap mental, bagaimana aparat di lapangan yang berhadapan langsung dengan manusia uang tak berseri ini harus mendapatkan  dukungan dalam banyak hal. Gaji mungkin sudah lebih dari layak. Soal keamanan, bagaimana mereka bisa saja diancam oleh penguasa tengik ini, atau uang mereka bisa menjaungkau apa saja. Misalnya, anak atau keluarganya diintimidasi kaki tangannya. Siapa bisa melindungi sampai sana?

Lagi-lagi sikap mental, di mana penjahat bisa berkuasa karena masih menilai uang sebagai segalanya. Isa karena ngiler uang atau uang bisa membeli penjahat kelas coro untuk melakukan ancaman dan sejenisnya. Ini masalah juga.

Nampaknya pemiskinan makin mendesak jika melihat fenomena yang makin hari  makin buruk ini. korupsi X sita 10 kali X biar mereka tidak lagi mengulangi. HAM. Lihat model ini, mau HAM apalagi, bicara HAM bicara juga keadilan, bukan hanya ada pihak beruang saja. Rekam jejak orangnya juga bisa dilihat maling karena keadaan, sistem misalnya, atau malah gaya hidup. Yang minggat  dari tahannan sebenarnya ya itu-itu saja, dan lakukan hukuman yang jauh lebih  berlipat. Kasihan orang yang benar-benar berubah dengan perilaku ini.

Penegakan hukum yang belum semestinya. Kembali kehendak baik. Bagaimana perilaku demikian bisa terulang, maling yang sama melakukan yang identik. Mengapa uangnya tidak habis-habis? Jika orang bekerja keras tentu akan sayang uangnya dihamburkan, akan dipakai dengan baik. Uang maling ya akan dipakai menyuap. Jika hukumnya baik, tentu orang menjadi jera.

Korupsi dan penyelewengan jabatan harus menjadi musuh bersama, bukan hanya musuh KPK, sehingga mereka tidak ada lagi ruang untuk menggunakan jabatan demi keuntungan sendiri. Model melemahkan pemberantas kejahatan dengan berbagai dalih, sama juga memberikan dukungan pada maling yang sedang kena tangkap. Memang penjahat itu perilakunya bukan orangnya, namun orang yang sama berulang membuat kejahatan, ya tetap perlu dihukum dengan setimpal. Eh lucunya, malah penegak hukumnya yang dihakimi.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun