Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Survei Politik dan Buruk Muka Cermin Dibelah

21 Juli 2018   08:18 Diperbarui: 21 Juli 2018   08:22 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Survey politik itu akan gencar mendekati gelaran pilkada, pilpres-pileg, dan akan selalu menuai pro dan kontra. Yang mapan akan diam saja karena rilisnya jarang menyatakan mereka tanpa harapan. Memang masih  banyak lembaga abak-abal, yang bisa memberikan hasil sangat kontras dengan kebanyakan kantor survey yang sudah biasa dan dipercaya hasilnya, karena tidak jauh-jauh amat dengan kenyataannya.

Fokus pada sikap partai yang sering dinyatakan akan kukut, tidak lolos ke Senayan, dan sejenisnya. Mereka seperti abg  yang membaca ramalan bintang di majalah atau tabloid dan mengambil yang enak dan yakin, jika buruk dan tidak enak, mereka enggan membaca, apalagi memercayainya. Nampaknya hal ini juga menjadi gejala para politikus dari parpol-parpol ini.

Paling banter sikapnya adalah tuduhan kalau lembaga itu bayaran, pesanan dari lawan politik. Namun jika lembaganya kredibel, mereka akan menyatakan, survey belum tentu sesuai dengan kenyataan, kita buktikan kita bisa. Selalu demikian jalurnya, tidak akan ada yang berbeda dan baru. Lembaga tepercaya saja masih bisa dicurigai soal metode, padahal si politikus tidak paham juga survey, atau sejenisnya. Klasik.

Masalah itu pada parpol, bukan lembaga survey. Memang masih ada lembaga survey abal-abal dan sensasional. Fokus jangan ke sana sebagai organisasi yang memiliki tanggung jawab atas negeri ini.  coba kaji ke dalam, seperti apa sih keberadaan mereka.

Parpol itu bak mesin, perlu pembenahan dan tentu perawatan rutin. Lihat, berapa partai politik yang elitnya itu sepenuh waktu bekerja untuk partai. Paling umum selain jadi anggota dewan atau masuk pada jajaran eksekutif menteri misalnya, kalau daerah ya bupati-walikota, gubernur, masih juga pengusaha. Coba bayangkan bagaimana mesin bekerja jika dikelola dengan separo, sepertiga, dan sepersekian saja konsentrasi. Bekerja penuh waktu saj masih belepotan, apalagi nyambi sana sini. Belum lagi keterlibatan dalam ormas, organisasi olahraga, dan sebagainya dan sebaginya.

Organisasi besar ini hanya diingat kalau mau ada gawe besar, pilihan ketua umum, pilkada dan pileg-pilpres mana bisa berjalan sebagaimana adanya. Coba bagaimana jika mesin itu didiamkan saja, dijalankan hanya dalam moment tertentu, bobrok iya, banyak suku cadang yang aus dibuarkan, pelumas sudah mengering saking banyaknya kerak dan lama tidak dipakai. Tidak heran yang dihasilkan juga hanya kebisingan tanpa isi.

Fokus para pekerja partai hanya dua kekuasaan atau mengamati kesalahan penguasa. Itu saja. Dua karena dua sisi, bukan dua jenis, hanya kekuasaan dengan sudut pandang berbeda saja. Coba bayangkan bagaimana elit partai itu fokusnya hanya menempel penguasa, yang bisa dan sempat. Mana pernah berpikir soal partai harus berjalan. Sisi seberang mengulik saja kelemahan penguasa dan menyerang bak babi buta, dan itu jelas lepas dari kinerja partai.

Pencari makan lewat politik bukan ladang pengabdian. Mencari makan jelas orientasinya dapat duit, entah benar entah salah, yang penting dapat kenyang, kaya raya, dan seterusnya. Ladang pengabdian mungkin utopis, namun bukan tidak mungkin. Banyak orang sudah usai dengan dirinya bisa memikirkan partai dengan baik. Adanya kaderisasi, internalisasi ideologi partai, dan visi-misi partai bagi tumbuh kembang negara. Nol besar nampaknya hal tersebut, selain di atas kertas semata.

Transefer pemain bola kali ini kalah dengan riuh rendahnya perppindahan pemain politik dari satu partai ke partai lain. Heran ini jauh lebih heboh misalnya Luis Suarez dijual ke Madrid jadinya. Ini lagi-lagi masalah klasik partai politik, bagaimana mereka potong kompas demi mendapatkan suara pemilih. Pemilih diharapkan memilih artis, pesohor, bahkan pelaku kriminal sekalipun asal tenar, secara tidak langsung bisa menarik pemilih. Lihat bukan partai yang dikedepankan, sosok dan kemudian partai mendapatkan keuntungan. Partai ndompleng kader malahan.

Sisi lain ada kader yang merangkak dari bawah, melakukan kaderisasi, menjalankan pelatihan demi pelatihan, namun tertendang hingga terjungkal karena ada pemodal yang menjanjikan lebih dari segalanya. Potong kompas demikian, membuat orang enggan lah untuk berproses secara alamiah di partai.

Nah beberapa point tersebut jelas menjadi penyakit partai politik, survey hanya menyajikan masakan mereka itu seperti apa. Tidak ada  yang salah dengan lembaga survey. Bagaimana bisa koki memasak nasi goreng meminta survey menyatakan sebagai soto yang gurih. Jauh banget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun