Elit Gerindra ini mau merendahkan AHY, eh sekaligus juga meremehkan Prabowo, juga dirinya sendiri. Dalam salah satu pernyataanya, elit Gerindra mengatakan kalau AHY mana mau jadi wapres, wong jadi kepala Kodim (maksudnya tentu komandan Kodim) saja tidak pernah. Lha ternyata setelah menelusuri khabar, dan Tante Wiki dan beberapa situs lain, menyatakan Prabowo juga belum pernah jadi kepala Koramil sekalipun, apalagi Kodim.
Kodim, komando distrik militer itu jabatan kepalanya bernama komandan, bukan kepala. Kepala itu untuk kepolisian, jadi kalau mau meledek seharusnya melihat dulu sehingga tidak malah merendahkan dirinya sendiri, eh juga "junjungannya."  Perilaku elit yang sangat memalukan sebenarnya, apalagi partai  Gerindra itu partainya jenderal, meskipun hanya bintang tiga. Mosok istilah teknis sesederhana itu saja tidak tahu, anggota DPR lagi. Padahal internet pun melimpah.
Prabowo pun belum pernah menjadi kepala Kodim, eh komandan Kodim, apalagi Korem, dan Panglima Kodam. Kedua militer ini besar di kesatuan, baik AHY ataupun Prabowo, bukan teritorial yang sangat wajar apalagi usia AHY memang masih termasuk muda, sangat mungkin belum pernah memimpin teritorial sebagaimana diungkapkan salah satu kader Gerindra tersebut. Apakah kalau ada yang mengatakan, Prabowo mau jadi presiden, jadi kepala koramil (ingat ini setingkat kecamatan) saja belum pernah, marah tidak? Apalagi kodam, menjadi panglima setingkat provinsi, rekan kerja gubernur.
Dalam salah satu ungkapannya elit yang menyatakan, bagaimana masa anak boncel begitu mengurus negara. Mengecilkan dengan mengambil bahasa atau kata yang lebih merendahkan lagi, dalam persepsi saya.
Politik merendahkan rival masih jauh lebih jadi gaya berpolitik dan menjual brand alam demokrasi dan politik kita. Hal ini harusnya sudah mulai dipinggirkan dan mulai menjual prestasi, visi, misi, dan  program untuk meyakinkan pemilih. Sangat miris jika merendahkan rival hanya untuk membesarkan kader atau unggulannya sendiri. Hal ini sebenarnya tidak demikian. Patut disayangkan sebenarnya jika masih saja demikian pola yang dipakai.
Membesarkan nama calon, kader sendiri, dan siapa yang didukung itu sangat wajar, biasa. Ketika sudah  dengan mengerdilkan, mengecilkan, dan membuat seolah-olah orang lain, rival, dan pesaing sebagai tidak ada, tentu bukan demikian demokrasi maju dan modern. Gambaran diri besar itu ya dengan capaian dan prestasi, bukan malah merendahkan posisi lain sebagai kerdil. Susahnya adalah melihat prestasi yang tidak ada memang mau apa lagi.
Padahal  jika mau kerja lebih cerdas sedikit saja bisa mengatakan prestasi Prabowo di dalam memimpin kesatuan yang jauh lenbih besar dan kompleks. Pertempuran yang pernah di jalani, dan dibandingkan dengan capaian AHY yang memang pasti akan kalah, lha jam terbang dan pangkat juga jauh berbeda. Paling tidak masih lebih obyektif. Beberapa kali Prabowo menjalankan misi militer yang relatif baik. Ini prestasi lho. Atau di HKTI, mengajak AHY belajar berproses, bukan menekankan kerdilnya AHY.
Membandingkan kinerjanya di politik dan partai politik, ini jelas lebih netral dan bisa sebanding, meskipun lagi-lagi susah juga karena beda generasi, namun jauh lebih positif. Prabowo sebagai pendiri dan pemimpin Gerindra sekian lama. Apa yang dilakukan AHY dalam kehidupan berpolitik praktis kog mau disandingkan dengan Prabowo misalnya.
Jika pembandingnya adalah kepala eh komandan Koramil, Kodim maksudnya, keduanya belum menjabat semua. Apalagi satunya memang mayor belum saatnya memegang teritorial selevel Kodim.Â
Artinya, dengan pembanding ini semuanya tidak layak, karena dinyatakan wong jadi kepala Kodim saja belum pernah bagaimana mau mengurus negara, hayooooooo. Beda jika mengatakan masih terlalu hijau, atau muda, bukan juga boncel lah.
Rekam jejak era modern ini ternyata belum menjadi pembelajaran bagi para politikus yang maaf memang mulutnya asal saja, bocor dan asal bunyi, coba apa yang terjadi, jika Prabowo dan SBY deal untuk menduetkan kedua perwira yang belum pernah jadi kepala Kodim ini? Akan dapat  dengan mudah mengatakan pembelaan diri, bukan begitu maksudnya, begini lah, itu kata media, media memelintir, atau itu kata orang  tidak suka. Apalagi politikus bertanggung jawab juga sangat kecil di negeri ini.
Pengalaman mengerdilkan orang dengan sarkas seharusnya mulai dikurangi, ingat ada pejabat yang mengatakan negara ini hancur di tangan seseorang, eh malah menjadi wakilnya dan bisa senyam-senyum. Rekaman itu kini mudah dibuka. Apalagi ada yang bersumpah untuk jalan-jalan dari sana ke mari pun dengan mudah melupakan. Belum lagi begitu banyak sumpah, janji, nazar, dengan mudah diabaikan. Bagaimana tidak, sumpah atau janji jabatan saja di bawah pemuka agama, dan Kitab Sucinya bisa dengan mudah diabaikan.
Hentikan caci maki dalam berpolitik, besarkan prestasi dan capaian, membesarkan nama diri dan kelompok itu alamiah, namun bukan merendahkan pihak lain tentunya. Kritikan itu baik, namun celaan sangat buruk, dan itu beda tipis. Di sinilah peran rekam jejak dan sikap kritis menjadi penting.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H