Masa depan Gerindra usai Prabowo sangat menarik dinantikan. Selama ini apapun Prabowo yang menjadi  penyelesai, pengambil keputusan final, dan semua hal. Menarik apa yang akan terjadi, jika Prabowo menjadi presiden, apakah akan rangkap jabatan? Atau jika kalah dan kemudian apa juga masih akan tetap memegang kendali untuk berapa lama ke depan. Susah melihat Prabowo masih akan memegang kendali, dengan usai dan keadaan politik ke depan.
Prabowo adalah Gerindra dan Gerindra adalah Prabowo. Hal yang sangat lekat, identik, dan seolah tidak bisa dipisahkan  lagi. Persoalan dan keputusan yang ada pada Gerindra ya Prabowo solusinya. Dominasi yang demikian lekat dan kuat, ditambah model berpolitik partai satu ini pun demikian, tidak akan mudah melepaskan bayang-bayang Prabowo dan Gerindra serta sebaliknya.
Cukup berbeda dengan PAN dan Amien Rais. Sangat tidak demikian lekat, memang apapun PAN ya Amien toh dominasinya tidak sejelas dan selekat Gerindra dan para kadernya. Suksesi pun bisa berjalan baik, meskipun faktor Amien tidak hilang sama sekali, malah cenderung matahari kembar. Paling tidak sudah bisa berjalan. Susah membayangkan Gerindra dan Prabowo tidak lagi satu itu.
Beda juga dengan SBY dan Demokrat. Membedakan dengan jelas karena SBY Â sejak awal tidak identik karena Demokrat seolah terpisah dari SBY karena menjadi presiden. Jelas bahwa SBY dan Demokrat itu ya satu, namun dengan nama lain yang menjaid pimpinan dan posisi presiden membuat lekatnya SBY pada Demokrat bisa terkamuflasekan. Pembedanya di sana.
Gerindra dan Prabowo sebagai sosok utama, figur sentral, apalagi cita-citanya untuk mengusung pimpinannya menjadi presiden selama ini telah menepikan faksi dan friksi internal yang sangat biasa terjadi di dalam partai politik apapun itu.Â
Selama ini konsentrasi penuh kader Geridra adalah mengantar Prabowo ke kursi presiden, ketika belum bisa "musuh" bersamanya adalah kekuasaan yang bisa dipahami sebagai penghalang atas capaian mereka. Sisi ini sangat membantu dinamikan Gerindra yang aman dan ayem dari faksi dan friksi.
Sangat wajar faksi, friksi, dan beda kubu dalam partai politik, P3, Golkar, PKS, dan PKB pernah mengalaminya, dan hingga kini tetap ada perbedaan itu. Tokoh sentral yang bisa menyatukan dan kewibawaan, bisa juga ketakutan membuat perbedaan kepentingan itu sejenak terlupakan atau terpinggirkan atas nama kesamaan perjuangan di dalam partai.
Posisi demikian bisa sangat menguntungkan memang dalam satu sisi, bahwa faksi dan friksi hampir tidak ada. Namun jika terjadi hal yang pasti terjadi, mundurnya sang tokoh kuat tersebut, apakah bisa bertahan dengan baik, karena potensi friksi yang ada itu selama ini teredam karena takut, kalah wibawa, atau perjuangan yang lebih besar bersama.Â
Ketika itu semua lenyap, semua unjuk gigi dan merasa lebih berhak satu sama lain. Mirip dengan fenomena gunung api dan magmanya. Bisa menjadi dasyat jika tidak disadari dan dicermarti dengan baik.
Pola pendekatan centralitas ini juga kedepakat personal sebagai sarana naik posisi dan jabatan, nah ketika sang tokoh kuat ini tiada, orang yang merasa terlampaui di masa lalu bisa menjadikan momentum untuk membuat tandingan dan unjuk kemampuan. Hal yang sangat mungkin, apalagi kader yang tersisih ini lebih dalam banyak hal. Jelas siapa yang berani ketika ada tokoh kuat masih demikian dominan.
Kaderisasi juga terpusat pada tokoh kuat, sehingga berlomba-lomba mendekat ini bisa dengan segala cara. Saling sikut ini potensi membuat  yang pernah ken sikut, biasanya lebih potensial namun kalah dekat relasional, bisa berbuat apa saja dan potensi perpecahan menjadi lebih besar dan hebat. Potensi ini teredam karena keberadaan si tokoh sentral. Maka tidak banyak yang berkontibusi, selain yang telah mendapatkan posisi dan enggan melepaskan kesempatan ini. Segala daya upaya dilakukan untuk tetap dekat.
Keberadaan kader elitis ini sangat mungkin dan memungkinkan buruknya kenyataan yang sampai pada tokoh kuat. Informasi yang disampaikan bisa bias, sesuai kepentingan, menyenangkan si  tokoh sentral ini agar puas, senang, dan seolah tidak ada masalah dari dalam. Masalah itu  ada pada pihak lain. Nah tidak heran banyak pernyataan tidak kontekstual, bahkan ngawur dalam menyikapi keadaan karena masukan yang bias ini.
Politikus dan kader idealis juga ada di sana, dan memiliki nasib atau karir yang susah bisa berkembang sebagaimana mestinya. Mereka akan kalah dan tersisih oleh politikus jalur khusus karena relasional ini. Ini masalah yang cukup kuat dan besar dan tidak akan pernah dipahami si orang kuat.Â
Potensi bagus yang ada bisa tersisih oleh keberadaan petualang yang menjadi parasit pada si tokoh kuat ini. Yang baik dan  berjuang bisa kalah karena tidak dikenal dengan baik oleh tokoh sentral.
Dengan keberadaan model berpolitik Gerindra demikian, susah melihat mereka masih bisa berbicara untuk jangka yang panjang. Kekuatan tokoh utama itu terbatas dan tanda-tanda untuk memberikan tongkat estafet tidak ada.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H