Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik ala PAN dan Pemilu 2019

7 Juli 2018   05:00 Diperbarui: 7 Juli 2018   05:51 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik ala PAN memang hanya sendirian yang melakukan periode ini. Periode lalu hal yang sama dijalani oleh PKS dan Golkar. Tidak begitu nampak dan jelas karena memang perilaku politik yang berbeda. Masa ini cukup menyolok apa yang dijalani PAN dengan memainkan dua kaki, ada di kabinet sekaligus menjalankan politik "oposisi." Hal yang seolah-olah biasa saja, normal, dengan dalih politik itu cair, politik itu tidak ada yang abadi, atau demokrasi itu menjunjung perbedaan dan mengakomodasi yang berbeda pilihan. Dalih yang seolah-olah benar.

Demokrasi yang menjunjung perbedaan pun tidak abai akan nilai kepatutan dan kepantasan. Bagaimana bisa mengabdi pada dua tuan yang berbeda dengan dalih demokrasi dan kebebasan berpendapat, ini sih demokrasi gendeng. Demokrasi yang dijadikan kedok perilaku munafik dan mencari keuntungan sendiri.

Oposisi meskipun dalam dunia demokrasi adalah hal yang baik, namun sejatinya salah kaprah ketika sistem bernegara presidensial. Masih bisalah negara yang  masih belajar berdemokrasi ini. salah satu hal yang penting dan mendasar namanya "oposisi" adalah di luar pemerintahan, menjalankan fungsi kontrol dan "menyalak" ketika rambu-rambu jalannya pemerintahan tidak sesuai dengan konstitusi dan kepentingan nasional.

Partai yang hanya mengejar jumlah pemilih dengan mengabaikan kualitas kader. PAN partai politik yang sering dan frelatif banyak mengajukan pesohor negeri, seperti artis, namun bukan masalah artisnya, namun bagaimana artis itu beralih peran dengan profesional. Boleh dan sah-sah saja artis yang menjadi politikus, asal tidak mendua, di partai ataupun legeslatif kinerja rendah, eh masih juga mendua dengan masih berkutat dengan dunia panggung lamanya. Ini yang menjadi persoalan.

Mengapa bisa main dua kaki demikian, artis dan politikus? Karena yang penting ketenaran itu bisa menjadi lahan untuk menarik penggemar agar mau juga melirik partai pengusungnya. Memang relatif sukses dengan cara itu, tetap menjadi partai  menengah terus. Namun apakah cukup signifikan memberikan kontribusi bagi negeri terutama demokrasi? Masih jauh dari harapan.

Artis yang ada pada partai lain relatif lebih baik. Meninggalkan dunia panggung untuk sementara, menekuni dunia politik dengan lebih profesional, menambah bekal dengan pendidikan yang menunjang dunia barunya. Pun di dalam menanggapi isu dan kejadian aktual artis dari partai lain lebih baik dari pada artis kader dari PAN.

Sikap mendua lainnya adalah soal platform partai, yang jelas sangat mendua, mau terbuka dan nasionalis, toh gamang juga. Mau memakai landasan agama takut juga. Hal ini terlihat dari pernyataan elit, pilihan ketika ada peristiwa atau isu, dan jelas dari perilaku elitnya. Sangat bisa dipahami, karena mereka tidak berani menyatakan nasionalis tulen karena berangkat dari kader ormas agama, namun sebagai partai hasil reformasi yang lebih berorientasi pada nasionalisme, susah juga jika mau menyatakan diri partai nasionalis.

Tentu bukan hendak membuat dikotomi agama atau nasionalis secara kubu-kubuan, namun jika mendua seperti ini  ya jelas pemilih malah enggan dan takut. Lihat saja bagaimana partai lain dengan jelas berani kog menggunakan platform agama, seperti PKB, PKS, dan P3, toh masih bis ajuga eksis, apalagi nasionalis jangan diragukan lagi keberadaannya. Memang bukan berarti kalau basis agama tidak nasionalis, ataupun sebaliknya, yang nasionalis emngabaikan agama. Namun jelas bukan mendua dan memanfaatkan sentimen agama untuk pemilu.

Sikap mendua dalam banyak fakta ini, memang seolah menjadi ciri PAN. Bagaimana mereka memiliki ketua umum namun toh secara faktual keputusan dan arah partai tetap di tangan pendiri dan inisiator partai, ada di tangan Amien Rais.  Jelas saja makin membuat orang enggan melirik, apalagi pemilih baru untuk bisa meyakini bahwa PAN bisa menjadi penjamin kepercayaan untuk pemilu. Susah mengatakan Amien Rais tidak lagi terlibat di dalam memutuskan bagaimana PAN bersikap dalam peristiwa dan isu aktual berbangsa.

Keberadaan PAN yang makin terdesak oleh "adik-adiknya" seperti Gerindra, Demokrat, seharusnya menjadi perhatian elit partai. Jangan sampai hanya menjadi bagian sejarah post '98 semata, namun juga memberikan kontribusi lebih baik lagi. Sebelas dua belas dengan selisih dua kursi namun jauh jika berbicara prosentase suara pemilih dengan saudara kandung reformasi PKB, seharusnya mereka bebenah, bukan malah berulah yang akan membuat mereka makin merosot.

Jualan ide terbaru pun mentok, apalagi prestasi kader di kantong pemilih rontok oleh perilaku korupsi, Jambi, Sulawesi, tentu hal yang menyesakan. Elit hanya berkutat pada kursi kepresidenan, di kabinet pun tidak memberikan dampak signifikan bagi hidup berbangsa dan bernegara. Padahal sangat strategis, Menteri PAN-RB, jika sukses mengubah mesin bobrok birokrasi menjadi efisien, bagus, dan melaju dengan kencang, jaminan pemilih akan melimpah. Sayang itu tidak mampu diemban dengan baik.

Berkutat pada pilpres dengan suara yang sangat tidak menentukan, kepopuleran rendah, reputasi sangat biasa, jika tidak terlalu keras, tidak menjanjikan, pilihan sikap mendua, dukungan pada hal-hal yang menjadi musuh publik,  apalagi yang bisa diharapkan dari partai produk reformasi namun perilakunya kuno itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun