Jaga jarak. Orang sering spontan ngamuk dan bukan responsif dalam menyikapi hal. Dengan demikian, emosi yang maju bukan rasional. Di sinilah masalah. Ribut dengan keluarga, teman, atau kerabat kemudian menyesal. Sangat tidak elok, ingat paku yang tertancap, meskipun dicabut tetap membekas. Demikian pun perselisihan meskipun ada ungkapan atau permohonan maaf tetap saja ada bekasnya.
Pertimbangkan hal yang lebih besar dan lebih bermanfaat. Karena tidak menjaga jarak, mana ada kesempatan untuk menimbang dan memilah dan memilih. Hal yang tidak mudah memang, apalagi tidak ada kebiasaan untuk itu.
Beberapa hal bisa dilakukan untuk mengurangi risiko "berkelahi"
Jelas mengenal diri dengan lebih baik, dengan demikian orang akan berempati, tidak mencari penghormatan diri namun memberikan  penghormatan kepada pihak lain. Pribadi yang kenal diri akan menerapkan prinsip tidak mau melukai akan tidak dilukai. Bukan sebaliknya, tidak mau dilukai namun abai kalau melukai.
Memperdalam spritualitas. Meditasi misalnya, yoga, atau sejenisnya. Tidak berarti orang yang suka marah tidak seligius lho ya, namun dengan spiritualitas orang bisa menjadi lebih tenang. Spiritualitas juga membantu  melihat banyak hal tidak lagi penting. Jika menempatkan keluarga, materi, agama, suku, kemampuan, di atas dari relasional, kemanusiaan, dan Tuhan sekalipun, bisa membuat ribet dan berabe. Dikit-dikit ribut, tersinggung, dan marah tidak terkendali.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H