Beberapa hari lalu ada rekan di grup medsos yang bertanya soal buku meditasi untuk mengatasi mudah marahnya, eh dua hari lalu, ada rekan yang hanya gegara guyon, marah besar. Dua hal identik yang sangat biasa terjadi. Ada relasi yang memburuk karena salah paham dan salah persepsi maksudnya becanda di sisi lain rekannya merasa itu menyinggung dan menjadikannya sebagai bahan marah dan bisa saja ditangkap sebagai berlebihan.
Marah, emosi, atau menjawab itu hal yang sangat wajar dan alamiah, tidak ada persoalan. Masalah ketika jawaban itu melebar,  kalau hal ini beda ulasan, bisa pula berlebihan, bahasa abg lebay. Bagaimana tidak, hanya ditanya berat badan saja malah ngambeg, keluar dari grup, atau menjawabnya hingga hari berganti. Ada masalah di sana. Proporsional, wajar, dan konteks tentu sangat menentukan.
Salangsurup, atau tidak pada konteksnya kalau hanya sesekali, mungkin karena keadaannya sedang tidak pas, capek, lelah, atau sibuk sehingga memang salh paham mudah terpicu. Hal yang masih bisa dipahami. Namun jika berulang, pada bahan atau alasan yang sama, dia sendiri merasa itu sudah kelewatan, berarti ada masalah yang perlu dibenahi.
Kemarahan berlebihan itu seumpama bisul yang tersenggol, apalagi jika tersentil, lebih lagi terpukul, ada awalan ter, yang memberikan makna tidak sengaja, sangat sakit, panas, dan bisa jadi senggol bacok bukan? Nah di sini ada "bisul" yang perlu disembuhkan.
Sebab sangat beragam dan  bisa saja kita berkawan lama namun karena banyak becanda tidak kenal dengan mendalam apa yang membuat rekan, bahkan kerabat itu marah secara berlebihan. Beberapa hal bisa disebutkan sebagai bahan ilustrasi memahami tulisan ini.
Keluarga. Ada orang yang sangat mudah marah, emosi, dan meluapkan dengan lupa daratan. Ingat kisah Zizuo di piala dunia yang menanduk Materazi? Karena ibunya diumpat. Keluarga memegang peran sangat penting bagi Zizuo. Keluarga ini sangat beragam, kapan menikah, kenapa lama tidak punya anak, atau dengar temannya berkisah anaknya saja sudah sensi dan mengatakan menyindir karena aku tidak punya anak.
Agama. Ini jelas masalah klasik yang sering juga dimanfaatkan politikus untuk mengadu domba. Orang seolah sudah mengabdi Tuhan ketika "membela" agamanya. Agamanya seolah berhala gaya baru tanpa sadar.
Materi. Kemiskinan bisa membuat orang mudah sensi dan marah. Bisa karena iri, karena tidak bersyukur, dan banyak hal. Materi menjadi pemicu untuk sensi. Kalimat, mentang-mentang kaya, ....padahal disapa baik-baik. Sebaliknya, yang kaya, karena takut hartanya berkurang, ia melindunginya berlebihan. Hanya melihat kagum dinilai mau mengambil, atau dikira menuduh korupsi.
Suku. Ini sama buruknya dengan agama orang bisa begitu menjaid militan, fanatis, ketika menyangkut sukunya. Mereka bisa membakar apa saja atas nama tersinggung. Dan lagi-lagi, politikus busuk sering memainkan isu ini, sensitifitas yang mudah tersulut dan meledak.
Mengapa begitu mudahnya orang bisa terpicu untuk marah, meledak, dan ngamuk. Ingat Zizou tentu sangat merugikan bahkan untuk Perancis karena perilakunya. Sangat tidak sebanding bukan? Rekan saya bertanya bagaimana cara membuat saya marah, saya katakan, tidak akan bisa. Ia memancing dengan persoalan orientasi seksual, dengan kemampuan, dan semua saya tertawakan saja.
Bedakan pribadi dan label. Misalnya agama, atau suku, atau keluarga, mengapa si A Â melihat itu berlebihan, si B melihat itu biasa, si C melihat itu humor? Jelas karena kepribadiannya. Dengan demikian, belajar pada yang melihat sebagai hal biasa, apalagi humor. Hidup menjadi indah, mengapa harus marah pada hal yang tidak semestinya? Tersinggung jelas manusiawi, namun memang benar tidak akan menyesal nantinya? Itu penting.