Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Koalisi Keumatan dan Koalisi Kerakyatan, Kala Demokrat "Tobat"

9 Juni 2018   06:32 Diperbarui: 9 Juni 2018   07:55 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat menarik apa yang terjadi belakangan ini. Intensitas Demokrat dan Gerindra menjalin komunikasi politik sempat terjeda, dan ada kendala yang cukup kuat sebenarnya. Munculnya koalisi keumatan yang dinyatakan kala beberapa elit partai sedang ke Arab, bagi Demokrat itu adalah "inisiasi" Rizieq. Ada peran Rizieq yang dinilai tidak semestinya. Lahirlah gagasan koalisi kerakyatan.

Sangat menarik apa yang dinyatakan salah satu elit Demokrat yang hendak mengajak melihat posisi Rizieq sebagai pemimpin agama, ulama, ketika berbicara politik tidak semestinya menjadi acuan. Ia menyatakan, sebagai pemimpin agama, adalah ketika ada yang melenceng itu menasihati untuk memperbaiki jalannya. Hal yang tepat. Kapasitas seseorang di dalam bidang tertentu belum tentu juga mumpuni dalam bidang lain.

Beberapa hal yang patut dicermati adalah:

Pertama, pernyataan cukup tegas dari Demokrat kali ini jauh dari tabiat Demokrat yang sering main dua kaki itu. Tumben berani tegas menyatakan sikap. Ini hal yang baru. Kalau takut mengambil sikap mereka biasanya diam, entah mengapa kali ini berani. Apakah faktor RS yang membuat mereka berani, bisa jadi artikel lain.

Kedua, sikap cukup berani juga menyatakan kalau RS itu ulama bukan tokoh politik praktis yang perlu menjadi acuan di dalam berpolitik. Ingat ini soal kapasitas berpolitik bukan keulamaannya, meskipun bisa juga ditelaah, toh bukan maksud artikel ini.

Ketiga, tentu banyak yang paham, kapasitas Rizieq Shihab di dalam kegiatan keagamaannya,  pro kontra pun masih demikian kuat. Dalam politik sama sekali dia bukan apa-apa. tokoh partai bukan, pegiat politik bukan, entah bagaimana banyak bahkan tokoh yang merasa pahlawan revolusipun malah seolah kalah "pamor" kalau bicara keris.  Apa yang dinyatakan Demokrat ini pada tataran yang pas. Mengajak demokrasi yang semestinya.

Keempat. Memisahkan kapasitas dan peran pokok ini bukan dalam artian merendahkan keilmuan, kepakaran, atau ketokohan seseorang, justru hendak menempatkan pada porsi dan posisi yang semestinya. Politik identitas, apalgi jika mengaitkan dengan semua hal pada agama, sudah akhir berbangsa tidak akan lama. Politik identitas yang mereka mulai, akan mereka akhiri juga. Bagus idenya.

Kelima, Demokrat memang harus menjadi pioner untuk mengembalikan paham kebangsaan yang tidak sektarian, demokrasi campur aduk, karena posisi strategis mereka yang selama ini biasa bersama dengan mereka tidak menjadi blunder bagi hidup berbangsa. Coba kalau PDI-P yang menyatakan, akan menjadi gorengan yang amat merusak.

Apa yang terjadi pada gagasan koalisi keummatan sebenarnya hal yang sangat wajar dan tidak luar biasa. Kebersamaan Gerindra, PKS, PAN, dan tambahan partai gurem PBB itu sudah tidak akan berubah. Hanya soal siapa wakil yang akan diusung dalam pilpres itu saja. PKS dengan sembilan nama, PAN dengan ketua umumnya, dan PBB nampaknya tahu diri.

Jika mengambil kader moncer seperti Anies misalnya, apa yang akan dilakukan koalisi ini pada para pengusungnya. Kompensasi yang cukup menyenangkan pada para pengusung. Tidak ada makan siang yang gratis tetap menjadi model dan pola yang lekat di sini.

Mereka tetap melaju dengan gonjang-ganjing posisi wapres. Tarik ulur juga keraguan karena tidak cukup menjual tetap mewarnai kebersamaan mereka. Tidak mudah juga.

Koalisi kerakyatan dan masa depannya.

Susah melihat realisasi yang sangat potensial jika melihat perjalanan dua kelompok yang sudah mulai mengerucut dengan tajam itu. Polarisasi sekian lama yang hendak dibuka kembali dengan tiba-tiba oleh Demokrat ini. Apalagi  kali ini Demokrat menyajikan menu yang tidak semerbak SBY dulu. Agus tetap belum menjual setinggi apa yang digambarkan Demokrat. Susah melihat kemungkinan bisa terwujud apalagi bisa memenangi pilpres nanti.

Hanya ada PKB  yang relatif bisa digoda untuk meninggalkan gerbong Jokowi. Dengan tawaran menggiurkan cawapres, namun jika demikian, apakah AHY menjadi calon presiden? Sangat kecil. Apa mengubah peta dengan menyodorkan alternatif Chairul Tanjung sebagai presiden bersama Cak Imin?  Ini jauh lebih realistis, namun kursi masih kurang.

PAN susah karena faktor Amien, ini bukan soal potitis murni namun ada unsur sakit hati pribadi yang memengaruhi. Kalau Zul sendiri sangat mau. Di sinilah  peran untuk diplomasi dan lobi-lobi yang sangat penting berperan. Jika menggaet PAN tidak bisa, ujung-ujungnya Demokrat mengeluarkan jurus andalan, main dua kaki, penyeimbang, netral.

Demokrat malah menyasar P3 yang sangat kecil kemungkinannya mau berubah. Posisi P3  yang jelas sejak awal sudah berpaling itu susah untuk ditarik. Memang ada beberapa pihak dan faksi yang bisa saja bergabung, namun untuk parpol sangat kecil.

Waktu yang ada memang masih cukup untuk menjalin komunikasi. Namun apakah cukup menjadikannya sebagai pasangan yang solid dan bisa menjanjikan untuk pilpres, ini masalah juga.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun