Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Keunggulan dan Masalah Zonasi Sekolah Menengah Negeri

7 Juni 2018   09:47 Diperbarui: 8 Juni 2018   07:31 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas.com/Bahana Patria Gupta

Kecuali SMK, menarik apa yang menjadi pembicaraan menjelang waktu penerimaan siswa baru ini. Beberapa hal bisa dijadikan pelajaran dalam dunia pendidikan yang seolah putar-putar saja namun belum memberikan gambaran utuh atas perubahan siginifikan dalam kualitas.

Dua kisah berkaitan dengan ini, satu soal siswi yang dengan penuh duka harus dinyatakan bunuh diri karena kemungkinan besar tidak bisa sekolah di mana kakak-kakaknya mengeyam pendidikan di sekolah favorit tersebut. Ini soal kemungkinan masuk sekolahnya, bukan soal keputusan dan peristiwa si alharhum. 

Beda kasus, bahwa sistem zonasi ini telah membawa akibat demikian. ini fakta. Kedua, rekan gereja, yang karena kecelakaan dia tidak bisa bekerja, si putri inginnya pendidikan negeri yang jelas lebih terjangkau.

Sekolah bapaknya dulu menjadi rujukan pertama, sekolah terfavorit, karena domisili berdasar KK si siswi harus dipotong tiga nilainya. Pusinglah si bapak dengan kondisi jalan yang tidak baik harus pontang-panting mencari sekolah dan donatur ke sana ke mari. Sekolah swasta Katolik, tentu dipahami, tidak murah. 

Zonasi pada dasarnya sangat baik. Dengan "memaksa" sekolah menerima siswa pada sekitaran sekolah sebagai siswa-siswi jelas sangat membantu untuk menciptakan sekolah yang kualitasnya relatif lebih merata.

Dengan siswa yang selingkungan, mau tidak mau peserta didik yang beragam kemampuan yang diterima, bukan hanya yang level atas saja. Selama ini kan pemilihan sekolah cenderung atas nilai. Hal positif pertama. Kedua, dengan terciptakan sekolah yang setara bukan ada unggulan, favorit, dan pinggiran serta sekolah biasa, sekolah mahal pun akan sirna.

Jangan remehkan fenomena mahalnya sekolah favorit lho. Sangat wajar karena dengan sekolah unggulan dengan berbagai cara menarik uang dengan beraneka ragam istilah juga tinggi. 

Ketiga, berkaitan dengan uang ini, anak yang pas-pasan namun cerdas pun dapat menikmati pendidikan yang setara. Selama ini hanya satu dua yang beruntung anak cerdas memperoleh kesempaan luar biasa. 

Keempat, sistem memacu siswa yang kurang, dan yang lebih untuk bisa mengerti rekan bisa diciptakan dan tumbuh. Sekolah bukan hukum rimba apalagi model industri yang pintar menggilas yang lemah. Hal ini selama ini telah terjadi. Sikap toleransi pun tercipta dan elitis dunia pendidikan bisa tereduksi. 

Kelima, dengan sistem zona ini memang akan membuat sekolah swasta bisa kembali hidup. Persaingan bak hukum rimba beberapa waktu lalu memang bisa dikikis dengan salah satu solusi ini. Anak dengan nilai pas-pasan dengan zona tempat tinggalnya, akan terpangkas jika di zona berbeda, tentu mau tidak mau akan menoleh sekolah swasta.

Tentu konsekuensi atas keputusan dan kebijakan menimbulkan masalah. Beberapa hal yang menjadi kendala adalah anak yang memiliki kecenderungan elitis, selama ini sudah tercipta, bisa melorot prestasinya karena "pesaing dan persaingan" yang telah menjadi bagian hidupnya itu kini hilang. Jika tidak hati-hati ini bisa menjadi bumerang, apalagi setingkat SMA.

Mereka telah "tercipta" sejak SD dan SMP, lebih lumayan yang masih jenjang SMP. Lalu, zonasi ini kan sekarang, padahal waktu mendirikan sekolah puluhan tahun lalu, belum terpikirkan hal ini. Ini masalah lagi, bagaimana sekolah bisa "berebut" siswa atau sekolah kelebihan siswa. Hal yang sangat murah sekolah berdampingan itu, padahal syarat harus sesuai KK.

Ketiga, sekolah favorit itu telah diciptakan, pun guru-guru "khusus" juga di sana. Apakah mau dan mampu mengelola untuk mendistribusikan guru beda "kasta" ini dengan lebih baik? Ini soal semangat dan "kebanggaan semu" yang telah sekian lama tertanam. Persoalan lebih pelik lagi ketika berkaitan dengan anak-anak perbatasan. Antara kabupaten dengan kota.

Zona dulu, hanya satu nilai yang dipangkas dan/atau sekolah sebelumnya di kota yang sama akan dinilai sama, jauh lebih bijaksana. Dengan demikian tidak begitu signifikan, jika tiga poin jelaslah terlalu besar dan sangat signifikan. Sosialisasi, lagi dan lagi nampaknya juga kurang. Antara pemerintah daerah yang saling berbatasan ada kebijakan bersama.

Tentu hal demikian bisa menjembatani pemerataan pendidikan yang lebih baik. Pemotongan poin ini nampaknya pada ranah ini. Otonomi daerah tanpa adanya kesadaran sebagai sebuah bangsa kesatuan, menciptakan raja kecil, egoisme sektoral yang lebih kuat, dan sikap pembedaan yang makin kentara. Hal yang biasa menjadi luar biasa kini.

Kepentingan politik sering pula masuk dalam dunia pendidikan. Orang yang sebelumnya bukan bergerak dibidang pendidikan tapi bisa tiba-tiba menjadi kepala dinas pendidikan. Bisa berabe jika model demikian yang terjadi. 

Masih susah meyakini dunia pendidikan makin baik jika politik abai moral ini masih menjadi panglima. Sistem penerimaan saja bisa menimbulkan masalah, susah mengharapkan kedepannya makin baik. Perlu bijak dalam mengambil keputusan sehingga bukan anak sekolah yang menjadi korban. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun