Memahami politik dua kaki ala SBY, falsafah seribu teman kurang satu lawan berlebihan sangat kental terasa bagi perpolitikan SBY dan Demokrat. Tidak heran mudah gamang karena khawatir akan menyiptakan musuh, pun sering gagal menangani masalah karena khawatir kehilangan teman. Hal yang sama terjadi di dalam memilih "partner" dalam berkoalisi juga. Andalan penyeimbang adalah gambaran utuh atas kegamangan karena sikap semua diharapkan jadi wan itu.
Memang dalam jangka pendek sangat menguntungkan main dua kaki itu. Politik itu cair sangat menggiurkan, ingat dalam jangka singkat. Bagaimana kursi wakil  ketua dewan dan majelis diperoleh, tanpa kerja keras dalam pilpres lalu. Hal yang menyenangkan demi kursi dan kuasa. Sangat sederhana.
Orientasi pada kekuasaan dan kursi sangat kental. Lihat bagaimana pola pendekatan Demokrat dan SBY dalam menyikapi isu bangsa dan keluarga. Ketergesaan dan kecepatannya sangat jauh berbeda. Dengan dalih sebagai perlu kehati-hatian dan pertimbangan masak sering jadi terbaikan dan terlupakan dan ya tidak ada penyelesaian. Padahal tidak demikian jika menyangkut kepentingan priadi dan keluarganya.
Memainkan dua kaki dalam perpolitikan sangat menguntungkan diri dan keluarganya. Tidak akan ada yang perlu melibas karena merasa semua adalah potensial sebagai kawan. Mau mendahului untuk memberikan ketegasan tentu tidak nyaman karena posisi mendua itu. Politik itu cair sangat aplikatif bagi model SBY.
Perhitungan yang meleset nampaknya melihat keadaan akhir-akhir ini yang tidak mudah. Mulai menyasar lingkaran utama mengenai megakasus korupsi yang sulit dianggap main-main dan berkelit. Hambalang dan KTP-el susah untuk tidak ikut menyeret lingkungan terdekatnya. Hal yang sudah pasti dipahami dengan baik oleh SBY yang ulet dan ulung dalam berpolitik, ingat bukan bernegara yang beda jauh ya.
Tidak akan menyangka bahwa rezim ini demikian masif dan begitu berani untuk menyusuri megakorupsi, sedangkan dalam pemerintahannya dulu betapa luar biasanya pelaku korupsi itu, antara kementerian dan dewan sebagai pengawas  yang keduanya dari partai yang sama kena ringkus semua oleh KPK, contoh Kementerian ESDM dan partnernya dari dewan. Susah untuk  melepaskan diri dari jerat itu jika tidak sampai melibatkan Demokrat sebagai partai dan SBY sebagai "pemilik" partai.
Pengurus inti dan terdalam Demokrat terlibas semua dalam bui KPK. Apakah ini tidak ada kaitannya dengan Demokrat sebagai  partai dan putus sama sekali dari SBY? Jelas susah dijelaskan dengan akal. Kondisi-kondisi yang tidak mudah ini yang hendak diamankan, salah satunya dengan main dua kaki.
Sering SBY menanggapi keadaan dengan kondisi yang acap dinamai baper, karena kondisi yang tidak mudah. Memberikan perlindungan bak dalam sepak bola pertahanan terbaik adalah menyerang menjadi salah satu cara.
Sebenarnya ada cara yang lebih jitu dengan menguasai pemerintahan tentu. Sayangnya, kesulitan percaya pada pihak lain membuat blunder dengan "membuang" Anas yang bisa menjadi matahari kembar. Padahal jelas lebih menjanjikan Anas untuk menjadi kandidat 2014 lalu, dan 2019, Agus naik dengan pangkat sudah paling tidak bintang dua. Hal yang sangat mungkin dan jauh lebih realistis.
Politik memang momentum sangat menentukan. Efek berantai yang susah untuk dipatahkan jika pernah membuat langkah yang salah. Susahnya lagi usia kematangan SBY dan Agus sangat jauh, sedangkan tidak bisa "melepaskan" sedikit saja kekang untuk menyiapkan Agus cukup untuk level yang lebih kuat dan baik lagi.
Ibas yang digadang-gadang dalam politik lebih dulu ternyata ya begitu deh, tidak cukup mampu untuk bisa bersaing dengan lebih baik lagi. Mentor luar biasa pun tidak mampu membuatnya lebih baik. Memang levelnya cukup menjadi ketua fraksi yang tidak akan terkover media, seperti apapun kualitasnya. Agus yang merintis karir militer akhirnya dengan segala upaya harus mundur dengan bekal yang ala kadarnya.
Pendidikan dalam keluarga yang nampaknya sangat  berpengaruh, perfeksionis ala SBY yang jelas terbaca dari cara berjalan dan tersenyum yang seolah terukur itu, suka atau tidak membuat anak-anaknya juga akan takut salah. Tidak heran Ibas begitu tidak bebas di dalam bahasa tubuhya. Susah orang politik namun takut salah. Padahal lobi dan diplomasi itu perlu keluwesan dan itu tidak bisa dijalani Ibas.
Sangat mudah dipahami kalau memilih politik dua kaki, demi kondisi kawan seribu kurang dan lawan satu brlebih itu. Padahal ini dunia di mana tidak mungkin akan menyenangkan semua pihak dengan pendekatan dan pilihannya. Falsafah yang boleh-boleh saja, namun tentu perlu juga realistis menyikapi dunia apalagi dunia politik Indonesia yang ugal-ugalan itu.
Langkah yang sama tampak dalam koalisi mendekati pilpres 2019. Dengan kondisi, kebiasaan, dan tujuan yang sangat personal, Demokrat akan memilih jalan yang sama. Berdalih penyeimbang, namun menyari aman dan kondisi yang menguntungkan keberadaannya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H