Kisah lama, bukan proses tiba-tiba, apalagi dikaitkan dengan presiden ini dan itu. Perjalanan panjang yang tidak seketika.
Tahun pertengahan 90-an sudah mulai ada lembaga pendidikan yang "aneh" dengan libur bukan ikut kalender nasional, namun kepala sekolah. Ini sekolah negeri, libur keagamaan hanya satu agama, yang lainnya "tetap" masuk. Â Pun pertengahan 2000-an pun hal yang sama terjadi.
Beberapa tahun yang lalu mulai marak pemindahan hari libur pada waktu yang berbeda setiap pekannya. Cukup marak, di beberapa daerah. Upacara bendera pun hilang dari sekolah-sekolah, dengan dalih keagamaan.
Jadi teringat kembali, saat kemarin ada kiriman dari rekan mengenai aktifitas, kepercayaan, dan sikap pelaku pengeboman di Surabaya ternyata sejak SMA, pada awal 90-an, sudah tidak mau upacara, tidak mau menghormat pada bendera.
Pembiaran. Hal yang jelas saja terjadi sekian lama. Atas dasar tidak enak, anak pintar, atau karena agama mengenai hal yang sensitif. Padahal apakah demikian? Jelas landasan adalah Pancasila dan UUD '45. Artinya apa yang menjadi pedoman adalah dua pilar tersebut. Jika di luar dari itu, artinya sudah melanggatr UU.
Jangan kaget ketika hari-hari ini ribut dengan adanya ceramah radikalis, Muhamadiyah dan NU pernah membuat penelitian dan disusunlah dalam sebuah buku  bisa dilihat dan dibaca dalam da dari salah satu link berikut.
Buku yang memberikan kajian mendalam, menyeluruh apa itu gerakal radikalis, sejak 2008, dan ketika 2018 ada upaya untuk "melakukan "rekomendasi itu, akibatnya ya seperti ini. Begitu banyak  orang yang sudah merasa nyaman, merasa mendapatkan angin segara, dan sudah yakin akan keyakinannya, melakukan perlawanan. Penegakan hukum malah bisa menjadi seolah perilaku jahat yang perlu dibenarkan. Lhah kan aneh, negara malah didikte dan digugat karena memang diberi mandat untuk menegakan hukum.
Gerakan yang demikian panjang, berkolaborasi dengan kepentingan yang sejalan, meskipun berbeda jalan bisa saling menjalin dan susah diurai. Bayangkan saja, satu yang terbaru, sejak 2008, sudah ada sepuluh tahun. Apalagi jika dicermati yang sejak 1980-an, 1990-an, puluhan tahun lalu, saatnya panen dan makin susah diselesaikan, karena jika itu adalah pohan, sudah begitu besar mengakar, bahkan sudah berbuah dan buah itu sudah menjadi tanaman baru.
Kini yang terjadi itu, karena sekian lama pembiaran, atas nama demokrasi, namun perilakunya justru melanggar prinsip demokrasi itu sendiri. Bagaimana bisa atas nama demokrasi namun memaksakan kehendak. Atas nama kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat namun memaksakan pendapat. Gerakan dan pendapat yang berbeda dengan dasar dan konstitusi negara pun seolah benar.
Makin susah karena adanya kepentingan yang menunggangi perilaku ini. Beberapa pihak yang sekarang bisa menjadi masalah, bukan semata radikalis itu sendiri.
Radikalis yang mulai nyaman dan terusik. Bisa bermain dengan banyak bidang karena sekian lama sudah masuk dalam berbagai lini  kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan, pemerintahan, ormas, dan sekian banyak bidnag lain. Susah membedakan karena mereka sering juga berperilaku  mendua. Jika menguntungkan mereka dukung, jika membahayakan mereka telikung. Pun Pancasila masih mereka pakai, kadang-kadang.