Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Teroris dan Radikalis, Sebuah Proses Melihat Peluang Penyelesaiannya

18 Mei 2018   11:00 Diperbarui: 18 Mei 2018   11:13 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik melihat fenomena akhir-akhir ini, bagaimana orang berdiskusi dan sering terlibat dalam debat kusir soal agama pelaku. Dibarengi pula ternyata marak, ASN, dan tenaga pendidikan yang cenderung memiliki sikap yang sepakat dengan perilaju tersebut. Belum lagi fakta bahwa pelaku beberapa diantaranya adalah ASN dan keluarga besar ASN. 

Kepentingan global, jangan dilupakan, sering kita bertikai, sensi soal agama, padahal bisa iya, bisa tidak, namun jika lebih jernih dan bijak lagi, apakah bukan soal minyak. Mengapa demikian, lihat, kawasan, atau negara yang tidak ada potensi minyaknya, tidak menjadi ajang banir darah dengan bom. Nah banyak orang menjadi tidak sadar karena labeling agama. Mengapa menjadi begitu marak? 

Karena mereka paham, siapa yang akan menjadi cara "sembunyi", dengan memainkan isu agama, banyak orang akan membela, dan bisa jadi aparat dan pemerintah menjadi sasaran tembak karena dituduh meminggirkan agama tertentu. Artinya, kepentingan lebih besar hemat energi karena pemerintahan lemah karena diserang oleh kelompok lain yang bisa saja tidak berkepentingan sama sekali. 

Apakah teror hari ini, sama dengan DI-TII masa lalu? Jelas berbeda, masa dan kurun waktu memberikan ciri dan kelompok, yang belum tentu sama persis, bahkan bisa sangat jauh berbeda. Era perjuangan dan awal kemerdekaan, berbeda dengan awal 80-an misalnya. Apalagi kini dengan DAESH dan kelompoknya, tentu akan berbeda jauh dengan DI-TII. 

Apa yang ditangani sekarang, dengan ASN yang membuat analisis memiliki afiliasi tertentu, sebenarnya belum tentu persis soal terorisme yang terjadi. Begitu banyak kepentingan yang saling mengait namun belum tentu sama persis. Ada parpol yang ingin menyasar pemerintah, jelas bukan memberikan dukungan pada terorisnya, namun hanya ikut panggung yang tercipta. 

Hal ini sangat wajar, apalagi perilaku bermedia masih ya sama-sama tahu demikian itu. Ada kelompok yang memang ingin negara berdasar agama, namun bukan DAESH, masih cukup banyak, dan itu bisa saja di mana-mana dan melakukan apa saja. Dengan kemunculan DAESH mendapatkan momentum untuk mendapatkan juga panggung. 

Apa yang bisa dilakukan? Jernih melihat persoalan, labeling agama bisa dikesampingkan dulu, ingat bukan soal mengesampingkan agama, namun melepaskan atribut yang coba disematkan dalam keadaan ini. Jika ini bisa dikelola dengan baik, menyelesaikan keadaan dan paham radikal bisa menjadi mudah. Sensitifitas label ini yang memang benar-benar dimanfaatkan, dan membuat subur dan makmurnya perilaku radikalis. Mengapa demikian? 

Pemerintah bisa mati kutu karena begitu kompleknya permasalahan. menegakkan hukum, akan ada sekelompok orang menggelorakan sebagai meminggirkan agama tertentu, dan itu akan menjadi gelombang besar yang luar biasa. Dan kembali, mereka bisa tenang, sedangkan yang menjadi perhatian, justru bukan esensi masalah. Pemetaan penanganan. Sekarang terutama yang terjadi hari-hari ini, sangat sumir. 

Banyak kepentingan yang saling silang untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Kepentingan sendiri, jadi bisa saja otak utama selamat, jika banyak fokus pada yang sisi-sisi lain dari yang utama. Dan itu sangat mungki terjadi. Sikap tegas dan penegakan hukum perlu didukung banyak pihak, agar bisa memetakan keadaan dengan baik. Jangan lagi sentimen agama dan labeling berlebihan membuat keadaan akan terus demikian. 

Memang tidak berkaitan dengan agama tertentu, dan fakta memang agamanya tertentu juga, jangan sampai malah bertikai antarpemeluk beragama, atau agama tertentu dengan pemerintah. Penegakan hukum atas ASN sangat mendesak, pembiaran lebih lama lagi bisa menjaid bumerang. Mereka bisa saja tidak tahu apa-apa karena ketakutan mengenai agama, bisa menjadi kaki tangan yang berbahaya. 

Dan bisa jadi mereka ini dominan tidak tahu, namun ketakutan. Apalagi yang berkarya di dunia pendidikan. Kritis boleh dan harus, namun tentu dalam koridor konsensus nasional. Jangan atas nama kebebasan berorganisasi terus lepas dari konsensus seolah benar karena temannya banyak. Hal inilah yang lemah selama ini. Dasar negara Pancasila sampai hari ini kan belum ganti, namun orang dengan tidak merasa bersalah bisa menjadikan itu bukan dasar negara lagi. Kesadaran bersama sebagai bangsa sangat mutlak perlu. 

Pendidikan membawa sikap kritis, logis, dan tidak mengenal takut pada hal-hal irasional sangat membantu. Kritis bisa membeda mana yang benar, benar separo, dan salah. Selama ini semua bisa menjadi satu dan makin ruwet karena berbagai-bagai hal bisa dikaitkan, misalnya agama dan politik. Logis, berarti melihat rekam jejak bukan mudah lupa dan mudah dikelabui dengan label yang disama-samakan. 

Jika biasa perfikir logis, tentu tidak akan mudah mendapatkan serbuan opini tanpa memilah dan mimilih. Seolah-olah benar dengan sikap logis, akan tersingkir. Tidak takut dan mudah ditakut-takuti karena tidak tahu dengan baik. Jika nalar kritis, logis, bisa menjaid gaya hidup, tidak akan mudah ditakut-takuti apalagi dengan surga atau neraka. Semua bisa dihadapi dengan kepala dingin dan hati jernih. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun