Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masa Depan Anak-anak Korban Terorisme

13 Mei 2018   13:15 Diperbarui: 13 Mei 2018   13:29 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anak-anak korban terorisme, baik anak pelaku, yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kelakuan emak atau bapaknya, anak polisi, atau anak-anak para korban yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Hanya karena beda "label" dan dicap boleh dibunuh atau diledakkan. Apakah masa depan mereka akan berbeda jauh, baik anak pelaku, anak korban, anak yang jadi korban yang sama sekali tidak tahu apa-apa? Sama saja.

Menurut pemberitaan, kerusuhan mako Brimob selain berita duka juga dua khabar bahagia dan miris, dengan kelahiran dua bayi dari korban polisi dan juga korban dari tahanan yang meninggal di sana. Dua bayi yang tidak berdosa, kehilangan bapak mereka. Bukan hendak melihat mereka bersebrangan paham dan kondisi, namun dua bayi tidak tahu apa-apa, tidak pernah melihat wajah bapaknya.

Kondisi berat, traumatis, dan juga kehilangan kasih sayang yang harus mereka alami seumur hidup. Jangan sepelekan kondisi lahir yang secara otak memang belum tahu apa-apa, namun bawah sadar mereka merekam banyak hal. Jika tidak hati-hati, bisa menjadi masalah kepribadian yang mendalam.

Masa depan anak-anak korban dari pihak kepolisian, sedikit banyak akan lebih baik. Si bapak atau ibu misalnya, masih bisa ada pensiun. Beasiswa dari kepolisian atau negara masih bisa lah diusahakan. Jelas minimal untuk pendidikan mereka bisa mencapai level yang diperlukan.

Para anak pelaku? Siapa yang akan menanggung mereka? Padahal masyarakat sekitar sering menolak, bahkan untuk jenazahnya, apalagi jika untuk menghidupi anak keturunan mereka. Iya jika keluarga besarnya mau menanggung, apakah juga tidak terlalu berat.

Belum lagi pembinaan anak-anak mereka. Sungguh berbahaya jika mereka dibesarkan di dalam kondisi yang sulit secara ekonomi, eh malah di cekoki dengan dendam bahwa polisi pembunuh bapak atau emak, tanpa tahu dengan baik kondisi dan kejadian secara lebih lengkap. Hal yang bukan tidak mungkin terjadi.

Anak-anak korban misalnya di gereja yang orang tuanya meninggal. Seberapa sih kemampuan gereja untuk misalnya memberikan beasiswa bagi anak korban ibadah misalnya. Apalagi untuk perbaikan gedung saja tidak sedikit uang yang perlu dikeluarkan.

Belum lagi, jika korban ikutan, misalnya orang yang sedang berjalan, atau berjualan, mana ada yang memperhatikan mereka? Kalau ledakan di gereja, gereja juga bisa mengelak dengan kami memberikan bantuan untuk jemaat kami saja sudah cukup berat, misalnya.

Masa depan, kesehatan, pendidikan, apalagi kesejahteraan banyak anak-anak terancam atas perilaku sembrono beberapa orang ini. Mereka siapa yang akan menanggung hidup mereka. Beaya saja sudah berat, apalagi cinta kasih.

Belum lagi, jika anak-anak korban para pelaku, terpidana, terorisme yang dididik, penuh kebencian, balas dendam, tanpa pendampingan lebih obyektif, bagaimana kualitas generasi muda bangsa ini. Jangan dianggap sepele daya rusak luka batin yang mengerak demikian.  Meluruskan saja susahnya  minta ampun, apalagi jika hanya dibiarkan. Ini bisa menjadi bom waktu yang jauh lebih berbahaya.

Korban egoisme segelintir orang, ini hanya kinerja beberapa orang yang licik, culas, dan penakut. Mereka memerintahkan orang lain untuk mati, dia, mereka yang menyuruh ini masih enak-enakan makan, minum, dan hidup seperti biasa. Entah di manapun mereka berada. Kalian pecundang yang menipu banyak orang, menyengsarakan lebih banyak orang.

Para bomber ini juga korban ketidakmengertian mereka, korban atas keterbatasan nalar mereka, dan kembali dimainkan oleh perilaku pengecut yang memerintahkan mereka untuk mati. Janji manis yang mengapa mereka sendiri tidak lakukan? Kasihan sejatinya mereka ini, apalagi jika memiliki anak dan keturunan jauh lebih kasihan lagi.

Penegakan hukum yang masih begitu-begitu saja, tidak memberikan efek jera. Empat, lima, enam tahun, berkumpul bersama lagi selama di penjara, keluar melakukan perilaku lebih jahat dan keji lagi. Jauh lebih aman karena sudah mempelajari trik-trik khusus yang bisa dilakukan dengan lebih aman.

Beberapa spekulan yang mendompleng momentum yang ada. Politikus busuk yang mengail di air keruh dengan memberikan dukungan moral, menuduh pihak ini dan itu yang membuat aksi, bisa menjadi masalah serius. Mereka jauh lebih pengecut, nyatanya mereka tidak berbuat apa-apa, namun bisa mendapatkan keuntungan. Tengok apa mereka mengulurkan tangan pada siapapun, polisi, keluarga pelaku, atau korban lainnya? Sama sekali tidak. Mereka hanya pengail bejad semata.

Pelaku, polisi, masyarakat, semua jadi korban. Pelaku pun mati, jika meninggalkan anak, bagaimana mereka akan menghidupi masa depan mereka. Pun yang jadi korban aksi, mereka bisa juga punya anak, dan masa depan mereka bagaimana?

Apa sih yang sudah kalian peroleh, misalnya meledakkan gereja, toh mati jemaat satu atau dua, kalian juga masti segitu, apa ini untung secara apapun? Apalagi dalam kaitannya dengan iman yang katanya diperjuangkan, ah yang bener saja.

Semua rugi, yang untung hanya segelintir orang yang haus darah saja. Mereka terbahak melihat perintah mereka ditaati, apa yang mereka lakukan? Nol besar, mereka tetap makan enak, tidur nyenyak, dan tidak tertangkap.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun