Belajar politik dari duo Mien-Min, Amien dan Imin, paling marak, riuh rendah, dan banyak bicara ada pada dua pribadi ini di dalam  gelaran dan gawe politik tahun depan. Dua kandidat yang disebut-sebut sebagai terkuat pun malah sering kalah. Mereka hampir tiap hari berseliweran dengan berita dan pernyataan yang selalu baru. Walaupun juga tahu sih warnanya sama saja.
Belajar itu tidak mesti akan menjadi seperti yang menjadi sumber inspirasi. Contoh, polisi belajar ilmu maling, copet, bandit, membobol pintu, bukan untuk menjadi maling, namun menjadi lebih dari maling. Pun polisi, tentara antiteror, belajar membuat bom, menjinakkan bom, mengintai sasaran, bahkan bisa juga masuk dalam jaringan teroris, namun untuk memberantas teroris.
Amien, politikus kawakan, klaim diri sebagai bapak reformasi, meskipun banyak gugatan dari sana-sini, akademisi dalam bidang ilmu politik, mantan ketua MPR. Jadi soal pengetahuan dan praksis ilmu politik sudah tidak perlu diragukan lagi. Beda dengan klaim soal bapak reformasi tentunya.
Entah apa yang dalam benaknya, pola pikirnya, dan pendekatannya, hingga pada akhir-akhir ini, hanya menelorkan ide penggerusan suara atau potensi suara dari kandidat yang dinilanya paling kuat. Ada istilah partai setan, ada pekok, ada sontoloyo, penggunaan kata dan label pengibul. Dan sejenisnya, pemerintah atau pihak yang mau dikalahkan diserang dengan labeling negatif.
Hal yang boleh-boleh saja, karena memang hanya segitu levelnya. Namun apakah akan berdampak? Ini bisa jauh berbeda. Ingat politik di sini sering malah menggunakan model demikian, politik korban dan menjual derita. Toh ada politikus yang memang gemar membuat dirinya dijadikan bahan cemoohan, yang penting menjadi pembicaraan dalam media, terutama media sosial.
Apa yang dilakukan belum tentu berdampak besar, malah bisa sangat merugikan diri dan kelompoknya. Orang makin melek, orang makin cerdas melihat pada yang asli atau hanya polesan, bisa saja orang memang membicarakan, namun dengan nada yang negatif. Tentu hal ini merugikan.
Partai  politik yang ada kaitannya pun pontang panting memberikan pembelaan sana-sini. Hal yang sangat wajar karena memang sudah seharusnya. Apakah efektif bagi partai, tentus saja susah dimengerti jika itu membantu pemilih mau memberikan suaranya untuk partai yang demikian.
Muhaimin, politikus muda, wakil ketua MPR, malang melintang dalam kabinet dan juga anggota dewan, ketua umum partai politik. Berbeda dengan gaya berpolitik Amien, ia membangun citra diri sebagai politikus penting. Menyatakan kedua kandidat terkuat saat ini perlu dirinya untuk bisa memenangi kontestasi dalam pilpres mendatang. Baik Jokowi atau Prabowo sangat butuh dirinya untuk menang.
Apakah benar demikian? Jelas tidak, Â posisi suara dan kursi partainya pun bukan suara yang cukup signifikan, basis massa fanatisnya tidak juga menjanjikan, pun survey selama ini, sama sekali belum ada yang menyebut namanya sekuat nama yang lain. cara membangun cintra politik yang lagi-lagi sah-sah saja juga. Tidak ada hal buruk yang menjelekan rival ataupun kawan. Membesarkan diri sendiri, jauh lebih baik tentu dari yang satunya.
Pola demikian, apakah akan membantu, perlu dilihat lagi ke depannya. Masih belum memberikan hasil yang kelihatan dengan jelas positif, negatif, atau biasa saja. Paling tidak, partainya tidak perlu pontang-panting mencari-cari alasan, alibi, dan pembenaran untuk pernyataan-pernyataannya.
Sikap dan pilihan percaya diri ini masih wajarlah, di tengah banyak orang minder, ini ada yang cukup kepedean. Â Toh politik tidak ada yang namanya benar salah, apalagi dalam alam politik dan demokrasi yang masih belajar ini, ranah pantas dan tidak belum menjadi gaya hidup yang semestinya. Main dua kaki ya biasa-biasa saja.
Kedua model berpolitik itu secara instan, hasil dalam waktu singkat memang sangat menguntungkan. Dalam jangka panjang apakah akan demikian? Tidak.
Sangat merugikan, ke depan, partai politik, politikus, dan hidup bersama akan menghargai proses, memberikan penghormatan akan rekam jejak yang baik, dan kepercayaan akan kinerja serta prestasi, bukan semata wacana dan klaim sepihak.
Ideologi, di kemudian hari akan menjadi tren berpolitik. Jika politikus muda saja hanyut dalam model demokrasi instan, jangan harap akan ikut di dalam era bangsa berkeadaban dan berkemajuan dengan gagah perkasa.
Memang sekarang prestasi bisa malah menjadi belati, kontroversi bisa menjadi kendaraan yang menjanjikan. Ingat, ini proses menuju perubahan. Penghargaan akan prestasi sudah mulai jelas sekarang, kontroversi tidak akan lagi  menjadi panglima.
Sayang sekali jika politikus muda, ikut-ikut generasi tua di dalam mencapai tujuan dengan membenarkan segala cara. Katanya antifasis, namun perilakunya fasis banget. Ayo politisi muda, bergerak menjadi agen perubahan dengan bermain politik cerdas, bermartabat, dan beretika.
Sudah tidak masanya lagi main politik uang, pencitraan dengan menjatuhkan pihak lain, serta abai akan prestasi. Saatnya perubahan, berlomba di dalam prestasi bukan sensasi.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI