Kekerasan pada laki-laki, akan cenderung menjadi tertawaan, apalagi jika berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal sebenarnya tidak juga. Belajar dari dua kisah yang berujung pada batalnya pernikahan oleh dua pembunuhan, usai foto pranikah, sebenarnya potensi kekerasan pada laki-laki itu ada. Memang akhirnya tragis dengan kekerasan pada perempuan dan pembunuhan.
Ada geguyon laki-laki selalu dimarahi, anak-anak dimarahi emak, remaja dan dewasa awal dimarahi pacar, menikah dimarahi istri, dan tua dimarahi anak cucu. Menderita sepanjang hayat. Dan itu sangat biasa. Ini hanya guyon.
Dalam sebuah artikel, sayang dicari tidak lagi ketemu link-nya, bahwa laki-laki yang sering dimarahi pasangannya, potensial mati muda. Sekian kata dan kalimat nyinyir, makian, celaan, kecrewetan pasangan, itu "memangkas" sekian waktu potensi usia harapan hidupnya. Yah mirip tanaman yang dicaci-maki biasanya buruk dan jelek.
Kisah laki-laki yang membunuh pasangannya usai foto pranikah ada dua dalam waktu yang tidak lama. Ada masalah memang karena pendidikan yang keduanya jomplang, latar belakang, kekayaan, juga sama timpangnya. Dan ketika menjelang pernikahan, kog tampaknya identik, keduanya biaya itu ditanggung oleh pihak perempuan.
Emosional karena diungkit soal biaya, dan sebagainya akhirnya muaranya membunuh. Kemungkinan terbesar, setiap saat si perempuan, maaf almarhumah dengan segala hormat, bagi keluarga yang ditinggalkan, juga korban, sering mengeluarkan baik halus ataupun kasar soal keberadaan, kualifikasi si laki-laki. Mana peran laki-laki, atau mosok laki-laki gak malu, nampaknya menjadi sebentuk refrain yang berulang.
Laki-laki, apalagi budaya timur, sudah mendapatkan label untuk menjadi penanggung jawab dalam banyak hal. Nah di sinilah sering orang salah memahami. Ketika laki-laki diam, belum tentu itu setuju, menerima, dan merasa cocok dengan apa yang sudah diputuskan seorang perempuan. Merasa lemah dan malu untuk mengungkapkan. Tidak akan menolak jika menghadapi keadaan yang menuntut tanggung jawab, sedang ia tidak mampu.
Laki-laki juga jika dicela perempuan tidak akan pernah menjawab. Mengapa, ya karena akan menjadi berkepanjangan. Coba kalau tidak percaya, ketika ada perempuan marah dan laki-laki ikut panas, ribet jadinya. Dan posisi ini sering disalahmengerti oleh perempuan untuk melakukan "kekerasan psikis."
Kejadian demikian, tidak akan pernah oleh laki-laki dijadikan bahasan bersama teman apalagi keluarga. Mengapa? Jelas karena tuntutan tegar, tanggung jawab, dan pantang menangis, membuat susah. Merasa di bawah perempuan yang bisa menyinggung harga dirinya. Apalagi jika bocor pada lingkungannya, laki-laki makin tertekan, dan makin memendam hal itu. Memendam ini menjadi masalah.
Diam, itu bukan soal takut, tidak berdaya, dan seterusnya. Namun dari pada berkepanjangan, malu, coba berantem dengan perempuan, di pasarpun tidak malu, kalau laki-laki mana mau. Bisa saja bagi perempuan yang memang ingin menguasai, merasa menang dijadikan senjata dan andalan.
Sering pemikiran cinta akan menyelesaikan segalanya. Mengubah yang buruk jadi baik, tidak akan ada masalah, dan itu awal dari bencana. Sifat bawel perempuan yang tidak disadari bisa menjadi bencana, pembunuhan segala, kekerasa verbal dibalas kekerasan fisik, saking tidak tahannya. Bisa saja si perempuan mengungkit misalnya beaya pernikahan itu sebagai wujud dorongan untuk laki-laki berusaha lebih keras. Namun apakah bisa demikian? Tidak.
Komunikasi menjadi masalah di dalam dua pribadi yang berbeda ini. Sering kredo orang jatuh cinta itu, semua akan terjembatani oleh cinta, iya, sehari dua hari, kalau setahun, sepuluh tahun? Di sinilah peran untuk saling mengerti, memahami, dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Ego perlu dikendalikan karena menjadi masalah berkepanjangan jika tidak dipahami. Apalagi jika latar belakang jomplang. Tidak banyak yang sukses menjembatani perbedaan yang sangat menyolok. Ego biasanya masih bisa diredam ketika bicara cinta, namun ketika "kebosanan", "sangat biasa, dan sudah berjalan sekian lama?
Perbedaan pola pikir, pendekatan, dan kebiasaan yang perlu dipahami bagi pasangan. Laki-laki sudah ya sudah, lah perempuan, sudahnya seabad lagi pun masih diungkit. Di sini biasanya soal lawan jenis bisa menjadi bencana. Masa lalu laki-laki ketika berakhir ya sudah. Perempuan itu tidak, dan jadilah alasan bertikai. Hal ini bukan hal kecil bagi laki-laki, coba kalau setiap saat dituduh apa yang tidak dilakukan, alami, dan rasakan.
Masyarakat sering membuat kotak-kotak, KDRT itu pasti laki-laki, laki-laki yang mengandalkan kekerasan, dan faktor perempuan dengan mulutnya yang nyerocos, itu sering tidak dipertimbangkan menjadi pemicu yang tidak mudah diatasi oleh laki-laki.
Belum lagi media sosial dan telpon pintar yang jika tidak bijak pun menjadi masalah besar. Laki-laki punya dunia sendiri, hobi misalnya, namun bagi perempuan bisa bahwa hal itu perempuan lain. padahal sama sekali tidak ada kaitan dengan lawan jenis.
Perempuan cenderung akan mengulik alat komunikasi pasangannya, namun dianya enggan ketika diajak yang sama. Standar ganda yang lagi dan lagi perlu jembatan di dalam berelasi, apalagi jika di dalam perkawinan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H