Apa yang kurang? Jelas soal tahu diri, di mana kekurangannya tidak dikelola kog. Tidak cukup mengandalkan kepintaran saja. Apalagi dibarengi perilaku asal berbeda dan serang pejabat yang sedang mendapatkan kepercayaan pemilih. Menyerang yang tidak produktif namun diulang-ulang. Nyatanya menjadi menteri pun juga tidak tuntas. Berarti ada masalah. Kerja sama penting di dalam kabinet, apalagi jika merasa lebih dari presidennya, wah ya runyam.
Rizal Ramli, si kepret ini juga selalu ikut riuh rendah jika ada gawe. Pilkada DKI juga, pilpres juga. Lebih parah lagi, partai politik pun tidak punya. Bagaimana bisa bicara lebih banyak ketika politik dan perpolitikan masih dikuasai dan dikendalikan partai politik seperti sekarang ini.
Kepintaran, kepakaran, dan ide-ide Rizal Ramli susah diterima di dalam sebentuk organisasi. Pintar saja tidak cukup ketika tidak bisa menjadi tim yang selaras di dalam banyak hal. Nyatanya jadi menteri juga tidak tuntas. Kalau kurang cakap jelas tidak.
Nah ternyata hal ini juga tidak dikelola, mengkritisi menteri yang menjabat pun tentu tidak pada tempatnya, wong nyatanya posisi di dalam juga tidak memberikan dampak yang signifikan. Â Hal ini dipahami dengan kacamata rakyat, bukan politikus lho.
Apakah pengabdian atau kursi sih yang menjadi tujuan? Jika kursi, ketika kursi teraih bisa abai akan kinerja. Kan kursi sudah didapat. Cenderung berpikir mengamankan kursinya agar tidak lepas dan berpikir orang lain akan mengambil alih. Pola pikir sendiri menjadi acuan bagi perilaku orang lain yang bisa salah.
Pengabdian bisa di mana saja. Sesuai kemampuan dan jangan lupa Tuhan memberikan di mana. Coba jika energinya dipakai ngulik pemerintah itu dipakai untuk membangun sesuai kapasitasnya, bangsa ini akan jauh lebih besar.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H