PSSI, apalagi yang harus kalian lakukan untuk memberikan prestasi. Wajar ketika stadion menjadi sepi pada pertandingan kedua melawan Korea Utara. Di pertandingan pertama, kalah tipis, kecewa lagi dan lagi. Wajar ketika tidak sebanding apa yang dikeluarkan penonton. Jangan salahkan pemain atau pelatih, apalagi jika sampai dipecat.
Pola permainan timnas ini sudah bagus. Bisa bersaing dengan  tim menengah atas Asia. Lebih jauh memang beberapa hal perlu dibenahi. Sebenarnya bukan pada pelatih atau pemain. Namun bagaimana pengurus mengelola sepak bola nasional ini.
Dulu harapan usai dibekukan FIFA seperti negara-negara yang mengalami hal serupa. Namun tidak ada lompatan berarti. Pola permainan bagus, menghibur, dan menjanjikan memang bukan hanya kali ini. era Alfred Ridle juga menarik. beberapa pelatih lokal juga tidak kalah menjanjikan, juga pernah dapat emas Sea Games.
Luis Milla pernah berjaya dengan timnas yunior Spanyol. Mahal lagi, apakah akan dipecat karena tidak bisa membawa prestasi signifikan? Ini bukan soal pelatih. Jika Klop pelatih Liverpool atau Anceloti sekalipun, jika model liga, kultur bermain masih seperti ini tidak ada jadi jaminan.
Messi atau Ronaldo sekalipun didatangkan dan dinaturalisasi, tidak akan membawa perubahan jika budaya instan, abai pembinaan tetap menjadi gaya hidup berbola di Indonesia. Kemarin memang masalah pada penyerang. Bola tanpa adanya bola masuk gawang sama juga bohong.
Pembinaan melalui liga. Jika penyerang kebanyakan pemain asing, atau naturalisasi pun sudah masuk usia senja kala. Mau apa yang diharapkan. Liga yang ada masih berkutat soal uang dan belum menyentuh prestasi sebagai buah konsistensi dan proses. Lihat saja semusim juara, kemudian hilang entah di klasemen. Tidak ada konsistensi dan pembinaan. Membeli tim yang  kemungkinan bisa juara.
Pola permainan seperti apa yang mau dipakai  tim nasional, hal ini perlu diterapkan di tim yang banyak minimal potensial menjadi pemain timnas. Beda antara rencana timnas dan klub. Barca menjadi kerangka utama ketika Sanpnyol juara Eropa dan dunia. Ada pola reguler pemain bermain bersama. Ditambah pemain yang lebih baik dari klub lain. adanya sinergi antara timnas dan liga.
Jadwal, lha bagaimana mau modern jika jadwal saja bisa seenaknya sendiri diubah, ditambahkan, dan hanya bagi klub tertentu, sedang tim lain tidak. Ada apa ini? kapan mulai, kapan berakhir, dengan kultur jauh berbeda dengan Eropa sebagai acuan, libur hari raya, libur pemilu, libur kampanye, dan begitu banyak hal riuh yang jauh dari esensi bola sendiri. Hal ini perlu disadari dan dicarikan solusi dulu.
Naturalisasi dulu juga dianggap akan membawa angin segar ternyata tidak juga. Belum ada torehan dibandingkan dulu sebelum ada naturalisasi. Cari pemain muda, potensial, dan tentunya benar-benar berprestasi, jangan malah sudah tidak laku baru dijadikan WNI. Buat apa? menguntungkan pemain dengan kuota paspor palingan.
Liga dengan pemain asing yang tidak jelas seperti ini. Hampir semua  pemain depan asing. Reguler main di liga asing, ketika timnas perlu, bingung. Jalan pintas naturalisasi, eh  veteran juga. Bagusan Galatama dulu yang sangat terbatas bahkan lama tanpa pemain asing bisa jauh lebih baik. Prestasi masih bisa melawan Thaland, lha kini lawan Laos, Timor Leste, Philipina saja ketar-ketir.
Melonggok liga elit Eropa boleh-boleh saja, sebagai acuan dan motivasi, namun jangan hanya istilah dan gebyarnya saja. Ikut juga disiplin, etos kerja, dan cara mereka mengelola. Gaya kaos, bahasa asing, atau cara seremoni buat apa. Jika permainan masih juga begitu-begitu saja.
Pelajari  dan terapkan  peraturan bermain standar internasional. Kemudian ubah model bermain kasar dan keras itu. Keras tidak berarti kasar apalagi bermuara pada kartu. Penyakit klasik yang nampaknya belum tersentuh  oleh Luis Mila. Gatuso, Seerdoff, Edgar Davids, Diego Simeone pemain keras tapi jarang mendapatkan kartu, karena mereka masih memperhatikan peraturan.  Termasuk perangkat pertandingan tentunya. Tidak perlu takut pemain atau celurit penonton tentunya.
Pembenahan pada sisi yang sederhana, mendasar, dan berdampak siginifikan jauh lebih menjanjikan. Â Jika ini dibenahi dan ditaati, prestasi pasti akan datang.
Sekolah sepak bola. Di sana dikelola soal kemampuan, peraturan bermain yang baik dan benar, dan emosi. Sehingga bakat alam  yang luar biasa banyak itu tidak asal main seperti di kampung-kampung. Jika bakat alam sudah besar, sulit diubah. Padahal di kampung kaki tidak akan patah, tapi main internasional ya kartu merah.
Pelatihan pelatih dan perangkat pertandingan rutin dan berjenjang. Salah satu permasalahan adalah pemain, penonton, dan perangkat pertandingan sering menggunakan pokok e di dalam mengartikan adanya pelanggaran. Nah di sini perlu adanya kedewasaan, bahwa ada wasit. Kericuhan biasanya masalah ini pemicunya.
Liga berjenjang dan rutin. Semua seolah bisa berjalan dengan sendirinya, iya memang bakat banyak, tapi jika tidak ada liga reguler, hasilnya, pemain asal main, bukan pemain profesional. Perlu pembinaan berjenjang, berkelanjutan, dan jelas rutin.
Pengurus yang pprofesional. Ini masalah juga, bagaimana mereka asyik dengan banyak hal. Ada yang politus, politkus berkasus, pengusaha, birokrat, dan banyak yang tidak paham bola saja peank atau bulat. Ini repot, soal paradigma pembinaan.
Jangan mimpi piala dunia jika masalah mendasar itu masih menjadi acuan yang seolah tidak tergantikan. Harapan mulai ada, jangan dirusak lagi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H