Tidak perlu menuduh pemerintah segala, atau mengarahkan ke sana, bosan. Salah satu tugas pendidikan adalah peningkatan kualitas hidup. Kualitas tidak harus berkaitan dengan materi dan kekayaan harta benda, namun kualitas kepribadian. Pribadi yang berkualitas, memiliki nilai-nilai baik yang bisa dirasakan, bukan semata-mata, diperlihatkan yang jelas buatan.
Sebenarnya sederhana sekali apa yang perlu dilihat perkembangan dari peserta didik, dari sebelum pendidikan, berproses, dan akhirnya usai dalam salah satu jenjang pendidikan. Bisa dalam satu tahun, atau per jenjang pendidikan. Namun nyatanya usai kuliah pun banyak sarjana yang kualifikasi kepribadiannya sangat tidak memadai.
Beberapa hal yang patut dimiliki dan menjadi gaya hidup bukan semata jargon, wacana, atau cita-cita semata.
Tanggung jawab. Mengerikan melihat bangsa ini dihuni orang tidak bertanggung jawab. Bukan hanya soal kinerja buruk, bahkan apa yang dikatakan bisa diingkari sendiri. Hal ini jangan heranlevel menteri, anggota DPR-RI yang kerja malas, namun ngelesnya sampai langit lihainya. Hal sehari-hari, nampak dalam diri peserta didik. Dalam hal yang sangat sederhana, tempat minum-makan, yang ketinggalan, buku kelupaan alasan asisten rumah keluarganya lupa menyiapkannya. Tidak erlu kaget jika jadi pejabat abai akan tanggung jawab.
Tanggung menjawab memang menjadi keahlian, apalagi yang ada di dewan sana itu. Tidak merasa risi gedung sidang kosong, namun gaji tetap diterima utuh. Ini bukan masalah sepele, eh masih dibela mati-matian,  bukan datangnya sidang atau hasil UU yang menjadi tolok ukur. Bel gedhes, kalau sidang molor gaji penuh kog  pejabat tanggung jawab.
Sangat tidak mengagetkan ketika ketangkap maling pun tidak merasa bersalah apalagi berdosa, karena sikap bertanggung jawab yang makin rendah. Ngeles menyalahkan pihak lain, makin menggejala dari hari ke hari.
Penghargaan akan proses bukan semata hasil. Entah harus dimulai dari mana ketika penghargaan akan proses itu sangat lemah. hasil akhir dengan cara yang tidak semestinya pun menjadi gaya hidup di sekolah. Suap demi masuk sekolah favorit, pintu belakang karena anak pejabat atau penjahat kaya, bukan barang baru. Ujian nasional, syukurnya sudah ada pertobatan, namun toh masih juga menjadi penyakit lama, pembocoran massal, mengerjakan dengan kerja sama, dan pengawas pura-pura tidak tahu.
Semua itu hanya mengenal hasil akhir, proses tidak menjadi pertimbangan, sehingga tidak dihargai. Sikap tanggung jawab yang rendah jelas juga penghargaan akan proses lemah. pemujaan hasil akhir semata.
Jujur, entah bagaimana KPK sampai memiliki jargon jujur itu hebat, lho jujur itu harus jadi karakter, gaya hidup, bukan prestasi. Mengerikan jika kejujuran itu sebuah prestasi, betapa buruk bangsa ini. Â nah bagaimana pendidikan saja dihuni model begini. Kejujuran bukan gaya hidup, namun sebuah prestasi di sekolah. Jangan kaget model "tipu-tipu" sangat marak di sekolah.
Semua tentu paham, kalau nilainya di kelas enam, mengapa di raport harus 7,5 -8, dari mana coba. Pengalaman, ada anak sangat rendah kualifikasinya, tetapi  berani menyatakan pasti lulus, di ukir di meja kelas coba. Luar biasa bukan? Dan memang lulus beneran.
Bagaimana bisa orang berpendidikan, gelar paripurna hingga S3 dan akademisi, bisa berbicara dengan data yang diputarbalikan dengan tidak merasa menghianati dunia pendidikan dan akademisnya. Hal demikian terjadi hampir dalam semua level kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka tahu kalau menggunakan data yang salah, namun enggan mengaku salah. Ini jelas tidak cerdas bukan? Apalagi jujur.
Budaya instan, entah dari mana ide untuk aneh-aneh dalam dunia pendidikan ini, semua seolah sesedrhana membalik telapak tangan, padahal pendidikan itu proses panjang. Maunya berubah dengan cepat, namun tidak mau mengubah pola pikir dan cara bertindaknya. Bagaimana soal standart internasional, sedangkan sistem pengajaran masih sama. Cara evaluasi dan standart soal sebaiknya dimengerti murid sejak awal, bukan jebakan di akhir masa pendidikan. Jika masih menggunakan evaluasi.
Kurikulum silih berganti, padahal sistem belajar mengajar juga sama saja, begitu-begitu saja. Apanya yang mau dicapai dengan hal ini. Evaluasi atas kurikulum juga tidak pernah ada. Tiba-tiba ganti. Dalih yang sama saja, itu negara A sukses, negara B bagus, dan abai akan budaya, karakter, topografi, sosiologi,dan banyak hal yang jauh berbeda. Lha mau apa dengan kurikulum menyontek, tanpa tahu motivasi yang melatarbelakangi model pendidikan tersebut diambil.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Pendidikan nasional milik bangsa ini, kembali ke jatid diri bangsa. Krisis identitas karena kebingungan dengan apa yang mau dicapai. Apa yang dirumuskan belum spesifik sebagai sebuah bangsa. Kacau balau karena apa yang mau dicapai tidak jelas. Anak lulus sekolah dasar, masuk menengah pertama, Â masuk menengah atas, kuliah, kerja, dan sering tidak bisa dipakai ilmu di bangku sekolah. Â Jati diri bangsa disadari dulu, dirumuskan dengan baik, dan kemudian dijadikan tujuan pendidikan nasional.
Kurangi kekisruhan dan campur aduk dalam dunia pendidikan. Bisnis, politik, agama, dan sering juga hukum yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Kacau balau jadinya dan tidak mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H