Demokrat, jika bukan Prabowo capresnya kami dukung, lebih baik yang lain, poros ketiga, menarik apa yang disampaikan Demokrat ini. mengapa? Karena mereka nampaknya sangat "ngebet" untuk alternatif daripada dua nama yang sudah santer selama ini.Â
Secara hitung-hitungan semua memang masih serba mungkin. Pertanyaannya adalah, siapa jadi apa dan memang mau demikian?
Demokrat bisa menjadi inisiator dengan minimal dua partai lain, karena partai yang memiliki suara atau kursi lebih  besar, nampaknya terlalu sulit untuk berubah lagi. Artinya mereka memerlukan kebersamaan dengan PKB dan PAN atau PKS yang berubah haluan, yang sangat mungkin.Â
Yang lain cenderung telah bulat, minimal sudah lonjong. Jika tiga itu memang masih cukup dinamis, apalagi PAN dan PKS yang belum bulat benar. PKB dengan syarat yang diajukan nampaknya cukup berat.
Sangat bisa dimengerti mengapa Demokrat mau  bukan Prabowo untuk menjadi capres. Hitung-hitungan susah dengan berbagai konfigurasi sekalipun. Apalagi jika menyertakan nama Agus di dalamnya.Â
Sangat kecil kemungkinan duet milter dalam kancah presiden saat ini. kebersamaan dengan kelompok Gerindra nampaknya tertutup karena M. Taufik sudah mengatakan 1000% Praowo pasti maju capres bukan yang lain.
Namun dinamika di partai masing-masing juga masih belum sepakat dengan nama. Seperti PKS ternyata ada yang menghendaki Gatot Nurmantyo, beberapa pihak memang setuju dengan Prabowo dan wakil dari mereka.Â
Di sini  Demokrat bisa mengambil celah dengan tawar menawar yang menggiurkan tentu bisa dengan menggandeng PKB tentunya. Berganti PAN yang menjadi wakil dari Gerindra. Apalagi Amien Rasi suah yakin kalau Prabowo akan menang.
Kalimat Imin yang menyatakan PKB sangat menentukan memang benar dalam hal ini, ketika ada poros alternatif posisinya sangat dibutuhkan. Namun dengan model ini, Demokrat, PAN-PKS, PKB, ada tiga nama yang harus menjadi dua nama, satu nama yang "tersiingkir" potensial untuk menjadi duri dalam daging.Â
 Tentu Demokrat yang memiliki suara tertinggi dan kursi terbanyak akan mendapatkan "porsi" calon RI-1, dan PKS-PAN pun memiliki kandidat. Dan PKB, ini menarik mereka memiliki kursi lebih banyak meskipun jumah kursi kurang.
Konsekuensi yang sudah dihitung masak-masak ala Pak Beye hal-hal ini, Â politikus sangat cermat, bahkan cenderung lamban ini, tidak mungkin tidak sudah memperhitungkan semuanya dengan detail dan cermat. Kira-kira akan ke mana jika bersama itu dan jika bersama ini akan bagaimana.
Melihat perilaku para elit partai politik ini yang hanya fokus pada kursi dan kekuasaan, meskipun menyatakan demi bangsa dan negara, namun rekam jejaknya sangat jauh dari itu semua, sangat mungkin adanya  poros ini.
Jika tidak ada harapan untuk poros ketiga, nampaknya khas Demokrat yang bangga dengan penyeimbang ini akan main jurus andalan dua kaki. Di depan menyatakan tidak mendukung mana-mana, dan membebaskan kader untuk memilih, namun sejatinya, elit tetap pada pilihan yang sama. Khas dan sama dengan periode lalu.
Dengan demikian, seolah menjadi negarawan, politikus ulung dengan mendapatkan kursi wakil  ketua DPR dan  juga wakil ketua MPR tanpa perlu kerja keras sepanjang kampanye pilpres. Dengan mata telanjang jelas terlihat ke mana arah dukungannya bukan?
Kalau kali ini main jurus yang sama blunder parah dengan  adanya AHY yang memiliki elektabilitas cukup baik, telah keluar dari militer, sekian lama keliling untuk jualan, kalau menyatakan penyeimbang, potensi jadi menteri bisa menguap. Padahal dengan masuk dalam kabinet jauh lebih menjanjikan pilpres 2024, daripada sekadar ketua umum partai atau anggota DPR saja.
Rekam jejak Demokrat selama ini makin kelihatan dan tidak akan dibiarkan seperti kemarin-kemarin. Dukungan yang mendua akan sangat merugikan Demokrat ke depan. Tidak perlu lagi model demikian. Gamang, ragu, bahkan bisa dikatakan munafik jelas sangat tidak produktif ke depan.
Kecenderungan partai yang "cair" ini sangat oportunis, fokus pada kekuasaan, akibatnya adalah, jika tidak dapat apa-apa akan menjadi benalu atau duri dalam daging. Kerja setengah-setengah, dan tidak akan bisa diharapkan hasil maksimal.
Melihat model demikian, susah untuk menantikan kinerja demi bangsa dan negara. Fokus jelas pada kursi untuk mereka sendiri. Kapan mikir bangsa dan negara? Dan rakyat makin melek dan tahu bedanya negarawan dan politikus.
Potensi perbedaan pendapat dari partai-partai itu sangat besar. Di sana tentu sangat merugikan, jika mendapatkan kemenangan, jangan harap yang tidak mendukung itu bisa memperoleh kesempatan.Â
Dan ini adalah potensi buruk lagi. "Perselisihan" berkepanjangan karena kekuasaan dalam internal partai akan sangat mungkin terjadi. Belum lagi partai yang merasa dianaktirikan karena tidak memperoleh kursi dan harus "mengalah" pada partai lain.
Akankah negara selalu menjadi sandera kepentingan politikus dan partai politik gaya fasis namun yang selalu ditolak ini? Â Rekam jejak itu jelas dan terukur sekarang, tidak bisa lagi ngeles apalagi memfitnah.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H