Konsumen, pelayan jasa, penyedia jasa, serta kemajuan media dan teknologi sangat berperan dalam kehidupan bersama. Konsumen bisa siapa saja, pembeli di toko, penumpang angkutan umum apapun bentuknya, atau pembeli obat di apotek atau rumah sakit, dan beragam bentuk yang membutuhkan jasa.
Pelayan jasa pun dalam aneka bentuknya, bisa kru bis, pelayan toko dan segala jenjangnya, dapat pula apoteker dan segala jenjang layanan obatnya. Bisa pula pengemudi ojek ataupun taksi on line. Bisa siapa saja yang melayani secara langsung kepada konsumen atau pengguna jasa secara langsung.
Penyedia jasa, dalam hal ini adalah manajemen yang merupakan atasan dan memiliki wewenang atas pelayan jasa, mereka bisa pemilik atau penanggung jawab, bisa juga penggaji para pelayan jasa. Mereka tidak akan, atau jarang bersentuhan dengan konsumen atau pengguna jasa secara langsung.
Kemudahan pelaporan atas kekecewaan konsumen sangat mudah dengan adanya media. Baik media sosial ataupun bentuk lain. kemajuan teknologi khususnya informasi bisa menjaid bencana bagi para pelayan jasa.
Dulu, ada anggapan, konsumen adalah raja, maka perlu dilayani sebaik-baiknya, karena mendatangkan pemasukan bagi pemilik atau penyelenggara jasa. Namun kalau dulu, jarang konsumen akan melaporkan, atau membuat khabar buruk atas perilaku karyawan atau pelayan jasa, apalagi fitnah segala.
Beberapa hari lalu, ada artikel di K yang menuliskan kisah ibu yang disuspen oleh penyelenggaran ojek onlin karena si ibu mendapatkan bintang satu. Mengapa? Karena "dipeluk" penumpang laki-laki yang ia tegur. Â Tanpa ba bi bu langsung kena pinalti.
Berita juga menyajikan penumpang memberi satu bintang gegara tidak ada kembalian. Ketika dikonfirmasi ngeles salah pencet. Dan sama si pengemudi kehilangan pekerjaan.
Kemarin, kru bis mengeluh karena penumpang meminta turun hanya berjarak 50 meter, sedang bis itu bis antarkota. Dengan sarat penumpang, jelas beban sangat tinggi, dan tidka mudah bagi pengemudi. Ketika ada penumpang yang bertanya pada kru, mengapa mau menurunkan selisih 50 meter, si kru menjawab daripada repot dengan kantor, lebih baik mengalah saja.
Tidak jarang ada orang ngamuk-ngamuk dan melapor pada manajemen apotik dan rumah sakit, karena begitu lamanya mnnantikan obat dan antrian. Padahal obat perlu diracik, kalau racikan, perlu dilabeli, perlu dikemas, perlu diambil dulu, dan tidak mudah dengan ratusan jenis obat. Amukan itu bisa menjadi bencana bagi pelayanan karena atasan jelas tidak mau tahu.
Kemudahan media sosial, dan media membuat pelaporan memang sangat membantu dalam arti tertentu. Namun apakah bisa dengan hanya sekali, dua kali laporan kemudian mendapatkan teguran, sih masih wajar kalau semprotan, apalagi kata-kata, kalau tidak mau kerja, cari tempat lain, padahal kondisi belum tentu sesederhana itu.
Manajemen, atasan, dan pemilik, perlu juga melihat secara obyektif, belum tentu bahwa karyawannya, bawahannya atau pelayan jasanya  yang bersalah, dan konsumen selalu benar. Sikap arif dan berjenjang di dalam memberikan teguran apalagi pinalti sangat dibutuhkan.
Apalagi pola dan tabiat konsumen kita suka atau tidak suka, maaf masih primitif, egois, dan sok tahu jauh lebih menggejala. Â Merasa sudah membayar menjadi acuan dan sok jagoan atau sok juragan. Misalnya merokok dalam taksi online, padahal jelas ber-AC, bagaimana mereka ditegur membintang satu. Padahal berapa lama harus menghilangkan bau rokok itu, bencana lain bisa datang jika penumpang berikutnya tidak mau mengerti keadaan.
Konsumen adalah raja tidak sepatutnya lagi, apalagi menghadapai tabiat buruk konsumen. Semua adalah raja, sehingga ada saling menghormati, dan menjadikan pihak lain juga bermartabat. Pihak lain bukan budaknya yang bisa seenaknya sendiri dipaksa untuk melayani sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Mau tahu keadaan pihak lain, tidak perlu ahli tentunya, namun mengukur jika sudah keterlaluan, misalnya pelayanan apotik kelamaan, tanya dengan baik, jika sepi, main hape, dan sejenisnya bolehlah melaporkan. Namun jika sekali saja melakukan kelalaian dan tidak fatal, ingat risiko kehilangan pekerjaan bagi pihak lain bisa terjadi.
Melaporkan kru bus kalau ugal-ugalan, ditegur nyolot, main hape sepanjang jalan, membahayakan penumpang, atau ada copet pura-pura tidak tahu, bis sudah berjalan padahal belum turun sepenuhnya sehingga jatuh. Masih bisa lah dimengerti melaporkan, hanya karena kurang atau lebih 50 meter dan sekali saja, ya terlalu.
Pemilik, atasan, pelayan jasa, jika pelaporan berulang pada pribadi yang sama, ulah yang sama, bolehlah ada sanksi, namun kalau hanya sekali, dan ternyata karena keegoisan konsumen, tentu hal itu bukan tindakan bijaksana. Tentunya perlu tindakan yang pasti namun juga jelas. Toh belum tentu konsumen selalu benar dan karyawan salah pun sebaliknya. Jadi bijak bukan pembiaran juga.
Sebenarnya sederhana kog, mau mengerti, jika mmau dihormati ya hormati juga pihak lain. tidak mengedepankan sikap dan sifat egoisme. Memang namanya manusia ingin diri yang lebih. Namun kebebasan tentu ada batasannya. Di sanalah seni hidup itu. Jika mau dihargai, hargailah juga pihak lain.
Kecepatan memberikan protes, hukuman, bisa menjadi bencana bagi pihak lain. Jika itu menjadi pertimbangan dan mau bersabar tentu tidak akan ada yang dirugikan secara parah. Meluruskan yang tidak benar itu baik, namun pedoman umum bukan standar pribadi yang menjadi acuan.
Jangan menjadi gaya hidup juga mohon maaf karena khilaf padahal karena emosional. Khilaf sering menjadi kedok atas pengendalian diri yang sangat lemah bahkan tidak ada.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI