Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada Tak Langsung, Menyelesaikan Masalah atau Memindahkan Masalah?

17 April 2018   05:20 Diperbarui: 17 April 2018   12:39 1890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi damai dan pengumpulan tanda tangan dari warga yang sedang menikmati car free day di sekitar bundaran HI Jakarta Pusat, Minggu (14/9/2014). Mereka mengajak warga untuk menolak RUU Pilkada yang menghilangkan Pilkada langsung selain itu mengembalikan Pilkada kepada DPRD berarti kemunduran dalam partisipasi politik rakyat dan demokrasi substansial. (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Kemunculan wacana untuk melaksanan pilkada tak langsung menguar dengan alasan/asumsi bahwa ongkos pilkada langsung yang terbilang mahal. Selain itu pilkada langsung yang menghabiskan banyak dana pula ditengarai menjadi celah korupsi. Beneran demikian? Jika dalih ini yang dipakai, adalah jelas bahwa solusi ini adalah cara menyelesaikan masalah dengan masalah baru.

Bukti bahwa politik memang mahal jelas terpampang dengan data terbuka, tidak susah membuktikannya. Namun apakah dengan opsi untuk memilih melalui dewan, otomatis biaya pengadaannya menjadi murah? Iya jelas lebih murah karena politisi dapat "membeli" suara dari masyarakat yang ratusan ribu hingga jutaan kali sekian rupiah, sehingga memperoleh 50 %+1 suara (tergantung jumlah anggota dewan, dari 40-an hingga 100-an kali) X rupiah). Jika ini jelas lebih murah. Politik murah, namun apakah pasti jadi pemerintahan bersih?

Jelas tidak. Bagaimana Malang, Jambi, dan Sumatera Utara, serta terakhir Bandung Barat, dapat memberikan bukti itu. Mereka dipilih rakyat, toh masih perlu untuk membayar juga kubu sebelah agar anggaran bisa disetujui. Tidak usah munafik dan pura-pura tidak tahu lah, elit itu. Jika tidak mau dikatakan munafik, buktikan dari mana kenaikan harta kekayaan setelah menjabat ini dan itu.

Ini soal mentalitas dan sikap maruk yang tidak kenal batas, bukan soal siapa yang memilih. Mau menggunakan dewan, sama juga bayarnya. Jelas lebih murah dan lebih hemat, lebih mudah diprediksi siapa yang jadi. Main via partai politik yang tidak kalah tamak dan rakusnya itu. Dengan dua fraksi besar dalam genggaman pasti jadi kog. Yang kecil-kecil tinggal mengekor.

Masalahnya adalah bukan siapa dan bagaimana cara pemilihannya, melainkan sikap/mental rakus, tamak, dan tidak bisa dipercaya. Apa buktinya? Berbagai fakta memperlihatkan hal itu. Bagaimana uang kerap menjadi ketok palu. Tradisi yang tampaknya semua tempat begitu. Uang terima kasih, wajar sepanjang itu adalah prestasi dan upah, namun ini memalak dan memaksa biasanya, dan itu ada kesepakatan, meskipun awalnya berat dan paksaan juga.

Siapapun pemilihnya, baik rakyat, atau dewan, jika tidak ada perubahan signifikan dari pendidikan politik yang baik, sama saja. Jangan harap ada perubahan mendasar dalam alam budaya politik yang lebih baik. Tambah kacau justru jauh lebih bisa diperkirakan.

Pengeluaran ekonomi pada politik tingkat tinggi memang sejak awal kita ketahui. Kaderisasi lemah. Bagaimana mau  jualan jika kualitas barang buruk. Jelas ada dua, bohong atau menggunakan suap.

Bohong soal profil, kualitas, dan produk buruk yang dikemas ulang, seolah-olah bagus. Hal ini jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jika barang itu asalnya buruk, untuk memoles perlu banyak tenaga ahli yang tidak murah. Artinya, memang barangnya buruk untuk memoles sehingga terjual perlu banyak beaya.

Suap, membeli seolah-olah ada pembeli, padahal teman sendiri yang diberi uang dan diminta mengaku membeli. Nah di sinilah masalah itu, sama juga mau masyarakat atau dewan yang memilih, sama saja. Barangnya tetap, Cuma yang diminta "menebus" itu berbeda.

Jika barang yaitu calonnya tidak diperbaiki, mau dipilih setan belang atau malaikat saleh, hasilnya sama saja. Masalah ada pihak yang dipilih bukan yang memilih. Ini masalahnya, perlu diselesaikan, bukan mengubah yang tidak menjadi penyebab utama.

Masalahnya ada pada calon, siapa yang mempersiapkan calon? Parpol. Apa yang perlu dibenahi dari parpol? Mentalitas dan ideologi parpol yang tidak jelas. Katanya nasionalis, toh nyatanya mengedepankan aroma yang lain. ideologi perlu ditekankan dan dibina lagi, sehingga jelas. Bukan berlaku semau-maunya. Ideologi labil identik juga dengan abege mencari identitas.

Masalah kaderisasi, sering karena masalah uang, mahalnya ekonomi politik, maka orang baik miskin tersingkir, oleh politikus tamak dan rakus yang memang orientasinya mau maling. Nah mau apa jika sejak awal memang mau merampok, tabiat bandit jauh lebih jelas dan kuat jika demikian. toh dipilih langsung atau tidak langsung tidak ada bedanya.

Penyederhanaan partai politik dengan meningkatkan PT, bukan dengan  sesuka hati. Bukan parpol yang tidak dipercaya kembali berdiri lagi dengan nama yang masih juga sedikit sama, orang yang sama, lha buat apa coba?  Politik itu soal pemilihan, kalau sejak awal tidak dipilih kog masih merasa hebat dan akan dipilih, dari mana coba logikanya?

Dari sisi pemilih, masyarakat juga perlu untuk diberi pembelajaran agar menjadi melek politik, bukan semata melek uang. Dulu ada jargon terima uangnya, jangan pilih orang atau partainya, ini juga salah secara moral. Masih juga maling dari uang rampok. Lha jika demikian, buat apa, tidak ada bedanya.

Memilih dengan cerdas, bukan emosional semata. Kesamaan atas integritas bukan label atau identitas yang sering salah dimengerti dan digunakan oleh bandit untuk melindungi perilaku jahat mereka. Di sinilah peran pendidikan politik.

Selesaikan masalah bukan dengan masalah. Temukan akar permasalahan dan diselesaikan dengan tepat. Masalah ada pada kualitas yang dipilih dan motivasinya, bukan pada pemilih semata. Janganlah menyalahkan yang tidak sepenunhya salah, dan malah membiarkan yang salah merajalela di dalam kesesatannya karena kesamaan keinginan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun