Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

[Dongeng] Kucing Sang Guru*

7 April 2018   05:20 Diperbarui: 7 April 2018   09:02 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam sebuah biara, seekor kucing selalu mengeong kala ibadat malam

Demi ketenangan ibadat, sang guru meminta kucing diikat...

Bertahun "tirual" mengikat kucing setiap ibadat malam terjadi, pun ketika sang guru sudah mangkat..

Ritual ikat kucing masih terjadi terus menerus....

 

Ketika si kucing mati pula, didatangkanlah kucing-kucing baru..

Mengikat kucing saat ibadat malam berlangsung terus menerus...

 

Berabad-abad buku tafsir hasil dari para murid atas murid dan atas murid dari perguruan itu penuh dengan makna pentingnya kucing terikat dalam ibadat malam...

 

Kadipaten Gung Liwang Liwung hidup dengan damai sejahtera. Rakyat hidup makmur dan baik dengan segala keterbatasannya. Alam raya yang subur membuat mereka makmur. Perselisihan hampir tidak ada. Apalagi jika berkaitan dengan sesembahan mereka. Di balik keterbatasan pengetahuan mereka, mereka tidak bingung atau ribut dengan sesembahan  kanak kiri gubug mereka.

Si Sastro yang petani menyembah Padi sebagi sesembahan. Waktu-waktu tertentu ia memberikan persembahan kepada Padi yang ia nilai memberikan penghidupan. Ia melafalkan mantra  bak lagu, ada juga gerak tarian seturut pemahaman dan penemuan mereka setiap hari. Jika ada yang salah atau kurang, mereka akan tahu bahwa panenan akan menjadi tidak semestinya. Atau karena kelalaian, tikus, wereng, atau keong menjadi  masalah bagi tanaman mereka.

Pun Si Sela yang merasa takjub atas batu di tepi kadipaten sana, membawa bunga setaman. Tembakau, penyembah batu menari dan menyanyi berkeliling sambil mohon perlindungan. Mereka juga memanfaatkan sesembahan mereka untuk dibuat aneka kerajinan dan alat rumah tangga.

Demikian juga Si  Surya dan pengikutnya. Ia memuja matari, Matahari sebagai sumber kekuatan, karena mereka melihat tanpa Matari, bumi akan sangat dingin, dan kehidupan tidak bisa berlangsung.  Tiap-tiap hitungan waktu tertentu mereka mengadakan upacara dan ritual untuk menghormat Matari dan memohon berkat agar dilindungi.

Tidak ketinggalan Tirta dan kawan-kawannya, mereka menghormati Sungai di tepi desa mereka sebagai sumber penghidupan. Tanaman hijau dan segar di tepi Sungai sumber obat dan makanan. Air mengalir ke sawah dan ladang mereka. Sesembahan dan sajen dalam kurun waktu tertentu mereka penuhi.  Kalau banjir bandang, mereka tidak akan mengutuk Sungai, namun merasa bahwa mereka salah memberikan perhatian dan ritual pada Sungai.

Baik Tirta, Surya, Sela, ataupun Sastro tidak pernah meributkan mana lebih baik atau lebih logis. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Mereka juga bahu membahu jika ada gawe kepercayaan satu sama lain. Demikian juga jika ada masalah dengan salah satu peri hidup mereka.

Suatu hari kedamaian itu rusak karena adanya pelarian dari Seberang yang dilanda pergantian pemimpin, sukses berdarah, yang membuat mereka melarikan diri ke segala penjuru angin. Nah Si Liman ini datang ke Gung Liwang Liwung. Ia yang berasal dari Seberang merasa lebih tinggi derajatnya, lebih pinter, dan merasa jauh lebih beradab. Maka pertama yang mereka lakukan adalah mengenalkan kepercayaan dan sesembahan mereka. 

Mereka menyembah pada Gajah atau Liman yang bisa memorakporandakan banyak hal. Hancur lebur siapa saja yang tidak mau menyingkir. Penduduk Gung Liwang Liwung yang tidak tahu Liman hanya katut dan takut, dan akhirnya semua ritual, dan sesembahan,  serta sajen sedikit demi sedikit hilang dan tersingkir.

Para pengikut Sela, Tirta, dan lainnya yang tidak mau tunduk menyingkir sejauh mungkin. Jika ketahuan akan dicari si Liman dan kawan-kawan dan dibunuh atas nama Liman yang perkasa. Padahal mereka selama ini tidak mengenal membunuh atas nama sesembahan. Kaget juga, namun takut, ya sudah akhirnya mereka ikut ajaran Liman.

Kepercayaan Liman ini memiliki ritual setiap pasaran mengadakan penyembahan pada sesembahan mereka. Karena merasa akan bahaya Sela dan kawan-kawan yang telah mereka tindas, mereka ketakutan. Setiap usai acara sesembahan mereka mengadakan sebuah pengajaran bahwa mereka yang paling baik, dan Sela, Tirta, dan lainnya itu sesat. Yel-yel didengungkan, sehingga semua menjadi takut. Pengikut Liman asli pun takut dengan pemimpin mereka kini, apalagi para pengikut Tirta dan lain-lain.

Demikian terus bertahun berganti, abad berganti, dan Leman menjadi kepercayaan dan sesembahan besar. Sesembahannya pada awalnya hanya menyembah biasa saja, normal sebagaimana kepercayaan lain. Namun karena merasa minder, bersalah secara bawah sadar mereka telah menyingkirkan yang pribumi, mereka mengedepankan seruan-seruan permusuhan, kekerasan, dan pengajaran yang membuat takut.

Berabad masih saja justru ketakutan, dengungan kekerasan itu yang menjadi mantera utama. Sesembahan Liman yang baik, kudus, dan penuh penghormatan itu kalah. Jauh lebih besar ikutan yang awalnya karena memroktesi diri dan ajarannya, namun karena tidak disadari menjadi yang utama dan lebih kuat.

Jika ada yang mengatakan Liman yang awali tidak demikian, dicap sesat, menghujat, melecehkan, dan sejenisnya. Masukan untuk keberadaan Liman yang lebih baik dicurigai sebagai ikut campur urusan Liman. Namun  mereka menindas  Pengikut Sastro, Tirta, dan sebagianya yang makin kecil, kurus, dan ketakutan itu.  Mereka makin bangga ketika melihat pihak lain ketakutan, namun jika ada yang berani, cap menghina akan didengungkan dan usai sesembahan pasaran akan diproklamirkan sebagai si sesat yang boleh dibunuh.

 

Pesan kisah:

Kepercayaan yang tidak baik sering mengandalkan kekerasan, menakut-nakuti, dan memberikan ancaman bagi pihak lain. Ajaran yang  baik akan memberikan jaminan ketenangan dan kebersamaan.

Kepercayaan yang masih kurang maju, akan memberikan jimat untuk keyakinan diri pengikutnya dan selalu takut pada pemimpinnya.

Kepercayaan yang sudah maju akan memberikan gambaran optimis dan harapan dalam hidup para pengikutnya.

Ritual bukan tidak penting, namun jika melepaskan nalar bisa saja menambah dengan tidak karuan hal-hal yang kurang penting. Esensinya lepas dan malah jauh dari yang semestinya.

 

  • *Diambil dari  Burung Berkicau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun