NIK-KK dan potensi kebocoran data serta revolusi mental, ini dua fakta yang sangat aktual baru terjadi. Satu kisah dua hari lalu, baru ngopi buka WA ada kisah dari Kompasianer Suyono Apol yang berkisah kalau mengetahui NIK-nya dipakai nomor ponsel lain mendaftar.Â
Parahnya jauh hari sebelum beliau mendaftarkan nomornya. Beliau menyatakan tidak tahu siapa pemilik nomor lain tersebut yang jelas dinyatakan mendaftar dengan NIK beliau.
NIK satu nama dalam KK dipakai mendaftar, potensi dalam satu KK dengan beberapa NIK bisa dipakai untuk yang lain. pembatasan satu pemilik (satu NIK) beberapa nomor, bisa menghambat pemilik sah NIK, jika tidak diurus dengan semestinya. Berapa saja potensi kejahatan yang bisa terjadi?
Kisah kedua, pagi kemarin, pas ngopi juga, ada tetangga yang bekerja di kantor desa, mengantar kartu KK ibu yang baru karena bapak meninggal. Dulu, pas urus sendiri, di kantor kecamatan dikatakan pengantar dari desa untuk mencari KK ditolak, yang benar adalah mencari akta kematian almarhum bapak dan otomatis KK itu keluar. Logis dan saya ikut prosedur yang ini, dan balik ke kantor desa untuk revisi pengantar.
Berpikir susah kayak gitu, dan harus ke kantor Dukcapil yang cukup memakan waktu, menyoba lewat "orang" yang biasa" begitu. Dan seminggu kemudian, langsung kartu KK sementara jadi, bukan akta kematian, sementara karena lembar asli sedang habis.
Berkaitan dengan dua kisah di atas. Ada banyak pihak yang bisa langsung menuduh pemerintah gagal mengawasi, melindungi data kependudukan, dan banyak cacian lain. padahal keberadaan NIK dan nomor KK ini ada dalam banyak pihak. Jelas RT dan jajaran ke atas. Berapa saja yang secara sah dan dilindungi UU tahu itu. Apakah mereka bisa dijamin tidak menyelewengkan tugas dan kewajibannya untuk menjaga itu? Apalagi setingkat RT.
Banyak persyaratan yang meminta fotokopi kartu KK, dari sekolah yang bisa dipegang kredibilitasnya, belum lagi model kredit baik yang resmi seperti bank, motor, dan berbagai kredit lagi. Jika ini masih bisalah diyakini kerahasiaan datanya. Bagaimana dengan kredit abal-abal dan yang asal-asalan, apakah mereka bisa meyakinkan menyimpan data nasabah dengan baik?
Semua minta syarat fotokopi, bisa saja, maaf bukan menuduh jasa penggandaan dokumen, namun bisa saja cacat cetak dan dibuang atau dikilokan, dan bisa jadi bungkus jajanan dan kebetulan dibaca oleh yang tidak bertanggung jawab? Â Artinya, bisa saja apa yang dialami oleh Kompasianer Suyono Apol berawal dari sini, bungkus gorengan misalnya, namun bisa menjadi berlebihan jika nantinya dipolitisasi sebagai kegagalan pemerintah. Padahal bisa saja sangat sepele seperti ini.
Potensi lain, "orang" yang biasa membuatkan  dokumen, calo kasarnya, bisa saja, hal yang sangat riskan menyimpan data yang penting dan mendasar begini, apalagi orang desa. Bisa saja kartu KK  dipinjam atas nama persaudaraan lho.
Apa yang patut dicermati dengan keberadaan kasus ini?
Pendaftaran dengan nomor KK/NIK orang lain ini, akan menjadi bencana, jika orang yang mendaftar dengan "meminjam" data ini penjahat. Kemudian maaf mati dalam penggrebegan, kemudian ada data dari simcard-nya, dan kemudian ditelusuri. Coba bagaimana pertanggungjawabannya?
Masih banyak celah yang dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini berkaitan dengan mentalitas dan etos kerja yang rendah dari aparat dan petugas di mana-mana. Hal ini berkaitan dengan revolusi mental yang ternyata belum beranjak jauh.
Kisah pengurusan KK ibu, memberikan pembelajaran bahwa sosialisasi dan prosedur dalam pengurusan bisa berganti sesuai dengan mood,relasional, dan bukan karena alur kerja yang benar. Rakyat mau tertib jika petugas dan pejabatnya tidak mau tertib yang sama juga bohong. Â Hal ini konkret, ada data lengkap, jika meragukan bisa dicek ke Admin yang menyimpan data saya komplit. Akun saya juga asli, bukan tuyul.
Revolusi mental masih setengah jalan. Kerja tertib menjadi beban, birokrasi rusak yang parah sangat parah masih perlu waktu untuk berubah. Potong kompas masih bisa tercipta bukan karena enggan tertib karena ketidakjelasan prosedur birokrasi yang ada.Â
Pun sering dibuat tidak jelas karena adanya model jalan belakang dengan embel-embel uang. Ternyata masih dianggap sepele dan enteng soal data pribadi yang amat penting ini. sering orang tidak memikirkan dampak yang bisa terjadi. Apalagi  dengan kemajuan teknologi dengan model kepercayaan yang rendah demikian, sangat berpotensi merugikan yang amat berat.
Jika dipolitisasi, padahal sangat sepele saja yang melakukan bisa menjadi preseden yang sangat buruk. Hal yang seharusnya sudah diantisipasi dengan baik. Sayangnya lagi-lagi konsumen dan rakyat yang akan jadi korban.
Operator, dukcapil, dan pejabat terkait akan angkat tangan dengan keberadaan kebocoran data yang amat penting ini, apalagi jika melihat antrean di kantor dukcapil yang seperti itu, bisa saja kartu orang sempat "tercuri" tanpa sadar. Apalagi dengan kamera HP yang sangat canggih seperti saat ini.
Masih perlu banyak pembenahan untuk menjadi canggih dan sayangnya diperparah tidak dibarengi dengan kinerja yang sangat terpercaya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H