Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Putin, Prabowo untuk Indonesia dan Republik Medsos ala Fadli Zon

3 April 2018   05:20 Diperbarui: 3 April 2018   05:29 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kompas.com

Putin, Prabowo untuk Indonesia, rupublik medsos ala Zon, nampak jelas apa yang dimaui Zon adalah Prabowo presiden. Itu sah, konstitusional, dan layak. Tidak ada yang salah dengan keinginan, kampanye, dan tetek bengeknya. Lucu dan aneh adalah cara yang dipakai selama hampir empat tahun ini tidak ada perubahan apalagi kemajuan signifikan. Sayang Prabowo malah bisa tergerus oleh ulah Zon yang sering kekanak-kanakan dan tidak kontributif itu.

Putin yang menjadi idaman Fadli Zon ini, ternyata usai dinyatakan langsung banyak media memberitakan banyak hal yang memberikan gambaran utuh siapa si Putin. Ketika pembahasan utuh siapa Putin itu makin marak, keluarlah Prabowo untuk Indonesia.

Idola Putin banyak komentar miring berkaitan dengan komunisme yang dikaitkan dengan pihak lain. Namun ternyata demikian memuja berkaitan dengan salah satu tokoh besar komunismenya. Beberapa kali jejak digital memperlihatkan hal tersebut.

Antiasing, atau menyebut pihak lain sebagai antek asing, ternyata idolanya pun asing. Ada Trump yang sangat menghebohkan dulu itu, kemudian berkembang mau meminjam Duterte yang bisa menangani gembong narkoba. Padahal di sini ada juga dulu yang giat dengan petrus,era 80-an. Lhah apa tidak teriak HAM, jika diberlakukan model Duterte?

Bangsa ini bangsa nyata, faktual, ada buktinya, pemerintahan, legeslatif, yudikatif, wilayah, dan sebangainya, bukan republik medsos semata. Dunia maya itu, biasa berganti. Pagi menjadi pembicaraan positif dan sore menjadi ajang caci maki. Sangat biasa. Pun tokoh yang awalnya idola menjadi hujatan dan bagian musuh yang paling jahat.

Medsos dan dunia nyata berbeda. Jika membedakan dunia maya dan nyata saja tidak bisa, artinya ada dua kemungkinan. Pertama kekanak-kanakan, atau maaf sangat bodoh. Indikasi yang akan memberikan jawaban di mana yang paling tepat.

Gerindra dan Zon adalah bagian utuh dan terdepan untuk membawa Prabowo sebagai salah satu kandidat terkuat untuk bisa menjadi presiden. Ini sahih tidak ada yang bisa membantah. Namun dengan perilaku yang aneh-aneh, tidak produktif, dan menyebar isu dengan tidak sepatutnya, menyoba kritis namun tidak mendasar, membuat pemilih bisa menjadi enggan. Apalagi menarik yang tidak memilih, makin sulit. Apakah ia tidak tahu? Jelas tahu namun enggan kerja yang cerdas karena itu sangat tidak mudah.

Posisi tiga besar dengan kedudukan wakil dewan, sangat seksi untuk bisa berbuat apa saja. Namun malah memilih menjadi tukang cela atau penyela daripada oposisi cerdas dan elegan. Paling gampang untuk menjadi tenar dan positif adalah memaksa dewan menjadi modern. Hasil kinerja positif, transparant, kehadiran signifikan, dan bukan bagian maling anggaran.

Apa yang ditampilkan jauh berbeda. Malah dewan makin manja dan mundur. Sebagai eksponen 98 namun perilaku dewannya jauh lebih ugal-ugalan. Dengan sabotase pada awal sidang dulu, dan kemarin dengan UU MD3 yang jelas jauh lebih terbelakang daripada Orba itu. Apanya yang baru dan muda jika pola pikirnya tua dan kolot begitu.

Memang kinerja dewan bukan sendirian, namun posisi partai politik dan dirinya di parpol dan kedewanan bisa berbuat banyak dan berbeda, jika mau. Padahal ini adalah sebenarnya iklan gratis, jangan berpikir presidennya siapa. Kan kinerja di dewan.

Malah asyik buat poling, survey yang maaf sekali lagi, kanak-kanak. Hal ini makin membuat orang menjadi enggan untuk melihat kiprah Gerindra lebih jauh. Padahal banyak juga kinerja baik dari Gerindra, namun rusak susu karena nilai setitik ini. apakah Gerindra dan Prabowo belum sadar juga? Atau sudah tidak berdaya sebagaimana pengakuan Pak Prabowo beberapa waktu lalu?

Posisi strategis Gerindra bisa terkikis habis. Dari tiga besar bisa melorot jika dalam waktu kurang dari dua tahun ini tidak memperbaiki diri lebih cerdas, dewasa, dan bermartabat. Sudah lah hampir empat tahun dengan pola yang sama dan arah positif makin jauh. Tidak perlu menjadikan pilkada DKI sebagai satu-satunya barometer.

Jika mau berubah dan  bebenah masih ada waktu cukuplah untuk paling tidak tetap bertahan di tiga besar.  Mengurangi blunder bukan malah menambahnya. Namun tampaknya susah, karena beberapa waktu terakhir justru ini yang dibesar-besarkan.

Kurangi juga memainkan isu-isu yang berulang. Beberapa pihak selalu menolak, namun pihak lain membela, dan akhirnya suka atau tidak kesimpulan liar tidak bisa disalahkan. Susah menepiskan isu selama ini lepas dari kebersamaan pilpres 2014 lalu itu. Lekat yang erat, meskipun selalu buntu untuk diselesaikan.  Termasuk model isu yang tidak berdasar fakta yang sudah terucap kemarin.

Mengapa tidak garang soal korupsi, soal narkoba bukan dalam mulut dan pernyataan semata, namun ada aksi. Selama ini tidak ada sama sekali gerakan atau solusi yang jitu dari Gerindra. Tidak perlu takut diklaim pihak lain, jika itu prestasi bagi bangsa dan negara.

Jika masih berkutat dengan cara lama, jangan kaget kalau perolehannya makin kecil. Masih ada waktu kalau mau.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun