Pornografi anak dan paranoid, sangat miris dan mengagetkan ketika ada anak di bawah umur asyik menonton bokep. Tentu hal ini koleksi orang tuanya. Apakah perlu heboh, menuding sana-sini, apalagi sampai berbicara soal penilain moral tanpa tahu sebab akibatnya? Usai beberapa waktu lalu ada "industri" pornoaksi dengan pemain anak-anak dan perempuan dewasa.
Ada kisah dalam sebuah buku inspirasi. Seorang bruder, biarawan dalam Gereja Katolik jelas ia tidak menikah. Suatu hari mengantar murid-muridnya melakukan lintas alam. Namanya anak-anak, mereka cepat mendahului langkah gurunya, si biarawan. Si guru bersama murid lain jauh tertinggal. Di sebuah tempat sepi, beberapa anak terdepa, biasanya juga rombongan anak bengal. Mereka berjumpa dengan pelacur, kata orang dewasa.
Mereka hanya tahu bahwa perempuan ini bisa dan mau melakukan apa saja asal dibayar. Maka  mereka urunan dan membayar perempuan itu untuk menari, mereka bertepuk tangan dan si perempuan menari. Tidak ada apapun. Bayar dan melakukan. Tiba-tiba dengan ngos-ngosan biarawan itu sampai ke sana dan menghardik mereka.
Menyambuki diri merasa gagal mendidik dan mengawasi murid-muridnya biarawan itu juga melakukan ceramah panjang lebar mengenai pelacur dan perilaku mereka. Anak-anak hanya gowoh,termasuk yang membayar perempuan tadi.
Kisah yang mirip, menjadi alur utama novl Ronggeng Dukuh Paruk,karya Ahmad Tohari. Di Dukuh Paruk orang mengatakan, asu buntung, bajingan,hal yang lumrah, karena padukuhan itu didirikan oleh bromocorah yang bernama Ki Secamenggala. Pun Srintil si ronggeng, ketika usai belasan tahun demi teman-temannya mau nabuhidia menari. Ciuman hal yang sangat lumrah, bahkan anak kecil sekalipun. Jika ada suami ketahuan meniduri istri tetangga, tidak akan ada parang melayang, gampang saja datangi rumah laki-laki itu dan tiduri istrinya. Sesederhana itu.
Rasus, yang biasa berciuman dengan Srintl itu merasa kecewa dan pergi ke lain dukuh. Ia gemas dengan seorang gadis dan ia cubit pipinya. Ia dilempar ketela dan ditertawakan orang se pasar. "Ini bukan Dukuh Paruk, tidak semua  bisa kamu sentuh pipinya...."
Dua kisah yang mau mengatakan bahwa ada masing-masing tempat dengan kondisi dan kepercayaan etis dan ranah susila yang berbeda. Kisah pertama tadi, si bruder yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jauh lebih luas mengenakan takarannya pada siswanya. Para siswa hanya "menyewa" si pelacur untuk menari, tidak lebih. Padahal biarawan itu sudah merasa berdosa bahwa ia gagal mendidik muridnya. Tentu apa yang biarawan itu pikirkan bukan yang terjadi.
Rasus dalam kasus yang sama juga merasakan gagap budaya yang sama. Ia merasa apa yang menjadi kebiasaan dan budaya di dukuhnya akan sama dengan daerah lain. ternyata berbeda. Hal yang jamak terjadi.
Mengenai pornografi dan pornoaksi, apa yang dilakukan untuk memeranginya sangat susah. Mengapa? Itu adalah masalah manusia yang paling primitif. Sejak manusia ada, bahkan alat kemain atau (sex),itu pada minggu pertama janin sudah mengalami pertumbuhan, jauh lebih dulu daripada pancaindra. Memang sangat vital. Bijaksana dan paling ampuh adalah membentengi diri dan anak dengan iman.
Iman untuk bisa memilih baik dna buruk, apapun agamanya. Jika iman kuat, sebesar apapun pengaruh dunia luar tidak akan mempengaryhi diri sendiri. Apakah orang yang memiliki film porno pasti moralnya jelek dan sebaliknya? Tidak sesederhana itu. Jika demikian, memangnya manusia hanya satu aspek saja?
Toh ada orang yang berwenang dalam hal itu (urusan porno-pornoan), bahkan gencar mengatakan atas nama agama, eh ketahuan menyukai laman yang berkaitan dengan apa yang ia dengungkan sebagai penyebab kebobrokan moral. Memang semudah itu moral bisa bobrok? Biasa ngeelsnya kalau tidak tahu mana bisa menilai. Basi.