Gemasnya Jokowi dan Budi Wasesa dalam menghadapi masalah masing-masing, senada dan sejenis. Buwas mengatakan mengenai kehendak untuk menanggulangi darurat narkoba itu belum maksimal.Â
Presiden menyatakan dengan jelas, namun di lapangan masih banyak yang main-main. Pun presiden menyatakan hal yang sama, namun dalam konteks yang berbeda. Presiden gemas karena selalu saja dinyatakan sebagai PKI.Â
Dua kali dalam waktu dekat presiden menanggapinya. Pertama dengan mengatakan apa ada PKI balita karena usia presiden waktu PKI dibubarkan masih lima tahun. Kedua, mengenai mau menggebuk pihak yang mengatakannya PKI.
Menarik adalah sikap keduanya yang sama. Cenderung melihat bahwa semua paham, rakyat biasa pun tahu, siapa-siapa yang memainkan isu PKI. Demikian juga dengan siapa yang mempermainkan bangsa ini dengan narkoba. Semua tahu, kaliber presiden dan mantan kepala BNN, namun mereka tidak berdaya. Mereka seolah kerja sendirian. Jika presiden sudah tidak bisa melakukan karena roda mesin ngadat, apalagi yang di bawah.
Mengapa demikian? Jangan dengan mudah mengatakan kepemimpinan lembek, tidak mampu, lemah, dan sejenisnya, lebih baik minggir daripada malu. Siapapun pemimpinnya jika negara lama dikelola seperti ini sama saja. Selalu ada pro kontra yang sama kuat. Lha mereka saja tidak mau mengakui kalah dalam pemilu dan selalu mengganjal dengan berbagai cara. Masalah  politis yang buruk.
Kepentingan bangsa dan negara terkalahkan oleh kepentingan diri dan kelompok. Jelas nampak masalah presiden sebenarnya sangat mahal, karena dunia luar negeri bisa melihat bangsa sendiri saja tidak mau mmenghargai.Â
Pun masih lebih tragis mengenai narkoba, bagaimana penanganan seolah sektarian, BNN, polisi saja yang bergerak, masih sering dicurigai lagi. Parah lagi ketika sipir, polisi, dan hakim meloloskan para bandar narkoba demi rupiah dan hidup mereka yang lebih kaya lagi. Tamak kembali menjadi masalah.
Ada masalah dalam komitmen hidup bersama sebagai bangsa dan negara. Tujuan berbangsa dan negara, bukan demi partai  politik apalagi dukungan pribadi dan kelompok yang didukung. Merasa bukan yang dipilih yang memimpin bisa melakukan apapun dengan sekehendak hati. Justru mempermalukan diri sendiri. Mengaku demokrasi namun masih seperti anak kecil. Yang ngakak ataupun yang ngamukberarti paham. Apalagi jika itu dilakukan oleh birokrasi atau penegak hukum.
Khusus narkoba saja, kalau presiden banyak yang sensi dan buat mules komentarnya, buat lapak kotor juga, bahas ini, narkoba saja.
Buwas merasa perintah presiden nampaknya tidak banyak respons dengan semestinya. Keras, tegas, dan lugas nampaknya itu yang ia mau. Soal anggran yang tidak mencukupi, mengenai dunia pendidikan yang tidak merespons dengan memberikan materi pendidikan ini (ada beberapa pihak dan yayasan yang memberikan untuk nonkulikuler sih materi ini), adanya pihak yang ala kadar, dan sejenisnya. Pendek kata, masih sektarian, sporadis, dan belum seperti menjadi musuh bersama sebagai bangsa.
Dengan korban yang sangat tinggi, bahkan meninggal, mencapai kisaran 50 orang per hari. Bayangkan coba, mati sia-sia segitu banyak. Belum lagi keluarga yang menderita karena ditinggalkan, kalau kepala keluarga berapa lagi yang terkena dampaknya. Anak-anak yang bisa putus sekolah, istri yang tidak berdaya, dan nantinya salah-salah juga menjadi juga pengedar. Ingat model menjerat yang terdesak bisa menjadi santapan empuk pengedar.