Antara menyambung hidup dan mengisi hidup, beda-beda tipis, ada yang bingung membedakan, pun menghidupinya begitu saja. Beda jelas sebenarnya antara menyambung hidup atau mengisi hidup. jika orang mengisi hidup, apa yang dilakukan sepenuh hati, berbuat yang terbaik, dan tidak hanya sekadar.Â
Menyambung hidup itu, memiliki kecenderungan yang penting bisa bertahan hidup meskipun dengan menjual jati diri, idealisme, menjilat, dan pokoknya menjadi landasan.
Dalam sebuah dialognya, Eyang Pramoedya Ananta Toer mengambil tokoh Jean seorang pelukis yang menyatakan hidupnya sebagai pelukis hanya menyambung hidup dengan melukis pembesar, pejabat, dan demi uang.Â
Eks pejuang dari Perancis yang patah kakinya di Aceh ini, dengan menghidupi anak semata wayang dengan duka kehilangan istri yang merupakan pejuang Aceh yang pernah menjadi musuhnya. Ia melihat lukisannya hanya menyambung hidup. Demi hidup yang bisa bertahan dan menyambung, bukan dapat mengesplorasi dirinya dan bakatnya, menyampaikan gagasan melalui karya lukisnya.
Kemajuan teknologi sangat berpengaruh dalam  model antara mengisi atau menyambung hidup ini. Potensi untuk terpeleset sangat kuat, bagaimana orang bisa demi mendapatkan uang bisa melacurkan karyanya, tulisan misalnya.Â
Memuji-muji satu pihak dan mencela pihak lain demi rupiah mengalir. Semua menjadi mungkin karena adanya dunia maya. Berdalih yang maya sehingga bisa berbuat apa saja. Menjual integritas diri demi materi.
Melakukan apa yang sejatinya tidak ingin dilakukan. Bisa saja menyatakan A di media padahal sebenarnya tidak demikian. Sama juga dengan orang yang munafik ketika menjual narkoba bagi orang lain, namun diri dan keluarganya tidak pernah menggunakannya karena tahu bahayanya.Â
Pun melalui karyanya bisa mereka hendak mengubah persepsi yang buruk demi kepentingan diri. Mereka tahu dengan baik, jelas, dan kepastian bahwa yang ia tuliskan, nyatakan itu buruk, sebagian buruk, bahkan fitnah sekalipun.
Kebanggaan akan materi dan penghormatan terhadap kekayaan. Bisa disaksikan bersama bagaimana hal-hal ini terjadi di dalam masyarakat kita. Bangga dengan kemewahan meskipun hasil dari korupsi, suap, maling, dan merampok sekalipun. Penghargaan berangkat dari kekayaan bukan hasil kerja keras. Prestasi dan proses belum menjadi pedoman di dalam menghormati keberadaan seseorang.Â
Demikian juga dengan gelar dan ijazah serta pangkat. Sering dijumpai orang dengan gelar akademik, gelar bangsawan berderet-deret namun kualitasnya nol besar pun masih tetap  percaya diri dan merasa bangga.
Penipuan, baik pelaku ataupun korban dengan mudah terjadi, karena pola hidup, gaya hidup, dan pendekatan sosiologis demikian. Coba bayangkan jika korban dan masyarakat sadar kalau murah itu tidak mungkin, ingat kasus Frist Travel, Abutour, dan lain-lain, tentu tidak akan berulang. Ada perulangan namun tidak akan sesering itu. Sikap kritis nampaknya hilang karena gila status dan gila harta yang lebih menakutkan.
Dulu dinyatakan bahwa kebodohanlah menjadi biang masalah. Kini tidak lagi tepat dan mewakili keyakinan itu. Orang yang dibodohi menyebabkan masalah, bagaimana tidak ketika orang berpendidikan tinggi, pengalaman banyak, dan sering juga punya jabatan namun kena tipu dan kibul juga. Pengaruh Iblis lebih kuat dan merajai duniaÂ
Pendidikan ternyata tidak membawa sikap kritis pada penipuan, penghargaan pada materi, dan abai akan proses. Mengapa demikian? Karena pendidikannya pun abai proses, perjuangan, dan berorientasi pada hasil akhir. Orientasi bukan kemampuan, namun nilai akhir dalam selembar ijazah. Ijazah menjadi tujuan. Soal kemampuan nanti dulu. Jika pendidikan yang model demikian menjadi acuan, ya tidka heran kalau masyarakatnya seperti ini.
Mudah lupa. Melupakan masalah dengan sangat mudah. Belum lama penipuan terjadi di suatu tempat, eh dengan cara yang sama masih juga kejadian, lagi dan lagi. Dulu model koperasi simpan pinjam dan melarikan diri, kini biro ibadah, ngeri  menggunakan agama dan ibadah untuk mengelabui orang lain.
Mentalitas feodalisme. Bagaimana melihat priyayi,penggede sebagai yang wah, menjanjikan ini dan itu. Tidak heran, kini pun terjadi, politikus dan elit bisa berlaku seenaknya sendiri karena memang sudah tercipta kultur yang demikian "suburnya."
Keteladanan dan contoh. Sikap mental yang memang jauh dari memadai. Kursi sebagai jaminan akan penghidupan dan penghormatan ternyata lebih menarik. Soal prestasi bukan perhatian, malah kontroversi jauh lebih menyenangkan. lebih banyak mana pejabat yang berprestasi atau yang hanya berisi kontroversi? Selengkapnya bisa disimak di sini.
Hidup yang berarti itu sekiranya bisa bermanfaat bagi sesama, dunia, dan Sang Pencipta. Apa yang diharapkan jika  orientasi masih pada materi dan keduniaan dengan mengabaikan yang hakiki dan kebenaran sejati. Tentu bukan dalam arti menyalahkan materi, atau materi itu salah dan jahat. Bukan. Materi menjadi sarana untuk membuat manusia bermanfaat juga bisa. Namun jika materi malah menyesatkan, dan menjadi fokus, tentu akan menjadi masalah.
Jika materi itu sarana, sangat mudah dan ringan untuk menyalurkannya. Ketika materi menjadi tujuan, mengambil yang bukan haknya, mengumpulkan dengan cara-cara kotor, akan menjadi sebuah gaya hidup.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H