Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi, Prabowo, atau Poros Ketiga, Apa yang Baru?

6 Maret 2018   05:20 Diperbarui: 6 Maret 2018   05:52 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi, Prabowo, atau poros ketiga, apanya yang baru coba. Mau berbusa-busa wapresnya ini atau itu. Mulai dari miiter, sipil atau profesional. Semuanya yaitu-itu saja. Hanya soal nama dan itu lagi-itu lagi. Hanya berkutat bahwa partai ini dapat apa parti itu pegang apa. kog tidak ada yang baru sama sekali. Tidak karena mendukung si A atau si B, namun jelas kalau Pak Jokowi akan dengan apa yang sudah dilakukan, baik nawacita dengan infrastrukturnya. Pihak yang pengin gantikan, atau ingin ikut berikan tawaran menarik.

Apa sih yang menjadi masalah mendesak ini? Jelas saja pembangunan manusia yang malah makin mundur. Yang dulu baik-baik saja malah menjadi masalah, dikit ngamuk, senggol bacok,fitnah merajalela. Hal ini menambah masalah lampau, korupsi, narkoba, dan terorisme yang cukup teredam kali ini.

Coba mana ada sih yang mengatakan sesuatu yang baru, menggugah, dan menjual untuk meyakinkan akan mampu untuk memberikan perbaikan. Tidak perlu solusi bak membalik telapak tangan, namun paling tidak ada bentuk kepedulian, merasa bahwa itu penting, mendesak, dan sangat urgen bagi bangsa ini. Sama sekali tidak ada, dari siapapun yang pernah dinyatakan atau menyatakan diri akan menjadi cawapres atau wapres. Hanya berkutat mau ikut ini atau itu, atau buat sendiri.

Selain korupsi yang tidak beranjak, teroris yang menurun, narkoba. Mana sih yang bicara narkoba, perlu apa? Hanya Zon yang bicara anak kecil pun bisa "meminjam" Duterte, yakin? Kalau Pak Jokowi melakukan itu, apa yang akan ia katakan, presiden kejam, pembunuh, pelanggar HAM, siapa yang bisa membantah?Ada yang omong saja tidak jauh dari omongan orang kebanyakan minum es batu.(baca minuman keras)

Masalah baru, rasis, dan sentimen keagamaan. Mana sih calon, pun yang baru siap maju Rizal Ramli, pernah bicara hal ini? Jangan katakan karena bukan bidangnya. Cak Imin yang begitu ngebet, atau Gus Romi  yang malu-malu mau, pernah komentar? Paling Pak Mahfud yang jelas dengan pendirian dan modelnya. Yang lain sama sekali belum, AHY? Sama sekali.

Hal yang mendesak lainnya, soal politik beaya tinggi. Jangan malah mendukung dengan gaji kecil akhirnya korupsi. Jelas logika salah, bengkok, dan ngawur yang hendak mengubah dan merusak persepsi. 

Bagaiamana ide cerdas mereka, bukan hanya berkutat pada UU MD3, atau PT semata. Coba daripada meributkan PSI ke istana, buat isu yang lebih berkelas, misalnya buat PT lebih dari 15% yang bisa ikut pemilu lima tahun mendatang. Penyederhanaan menjadi penting karena akan menjadi hemat, dan tidak boros, serta mahal lagi. (Paling tidak)

Coba dewan dan partai politik itu, bisa menertibkan anak buahnya. Lihat sidah perdana usai liburan sekian lama, masih saja kosong. Ratusan tidak hadir, tidak berubah dari waktu ke waktu, eh begitu maunya naik terus gaji dan tunjangan. Giliran menghasilkan sebuah produk tidak bermutu dan berujung ke MK. Apa bedanya dengan yang dulu? Sami mawon.Makin parah.

Apa yang dilakukan sangat menggelikan sebenarnya. Ribut saja soal siapa jadi apa, atau meributkan siapa ke mana, malah tidak memberikan perhatian yang menyentuh hasrat dan hajat hidup orang banyak. 

Coba bagaimana soal Freeport. Mengenai distribusi beras dan swasembada beras. Jangan ribut kala ada import namun diam seribu bahasa saat berhenti membeli beras. Pengawasan itu juga memberi apresiasi, bukan hanya mengritik tanpa dasar.

Menikmati jalan tol, kereta yang makin bersih, diam saja, tidur nyenyak, giliran ada kecelakaan kerja ramai-ramai dan ribut merasa lebih tahu dan benar. Menyalahkan sini menyalahkan sana, padahal kinerjanya sendiri nol besar. Merasa benar dan paling berjasa padahal sama sekali apa sih hasilnya?

Atas nama demokrasi mengatakan pemerintah otoriter, apa coba solusi untuk yang ditawarkan mengenai ujaran kebencian? Atau ormas dan kelompok Antipancasila? Konsensus bersama soal dasar negara sudah final, mengapa bisa berbuat seenaknya sendiri dengan mau mengganti sesuai dengan kehendak sendiri? Bagaimana solusinya menurut pandangan mereka yang lebih baik dan benar. Jangan menjawab itu urusan pemerintah dong.

Suka atau tidak senang, alam demokrasi itu jauh lebih buruk dengan model demokrasi yang sedang terjadi. Apa yang ditawarkan agar menjadi lebih baik, tidak masalah siapa jadi apa atau partai apa menang atau kalah, kalau sistem itu berjalan. Orang yang menjadi pimpinan itu tidak menjadi masalah, sepanjang sistem yang ada baik dan benar.

Semua sibuk dengan orang, sibuk dengan incarannya, namun abai akan apa yang terjadi dengan sistemnya. Sama juga orang ramai dan sibuk dengan sopirnya, sedangkan mobilnya bobrok. Orang itu penting, namun sistemnya jauh lebih penting. Siapapun yang jadi, kalau keadaannya seperti ini, susah untuk beranjak.

Mau berubah bagaimana saat mau membangun dilempari batu dengan kebencian, dengan fitnah dan tuduhan yang selalu saja begitu. Mau berganti tiap bulan presidennya, kalau seperti ini ya tetap akan begini saja. Ini bukan siapa menjadi presiden atau wakil. Namun keadaan bangsa yang memang dirongrong kepentingan, apalagi maling berdasi.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun