Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memungut Ceceran "Darah Biru", Feodalisme Gaya Baru

5 Maret 2018   05:20 Diperbarui: 5 Maret 2018   17:34 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pemudafm.com

Heboh, bangga jika memiliki darah biru, asing, atau apapun berbau asing. Berphoto dengan bule, artis, pesohor, atau bangga dengan menyisipkan istilah asing, atau keseluruhan asing. Lihat saja bagaimana heboh dengan Vicky Prasetyo dengan kalimat tidak jelas, asal ada asingnya keren. Kali ini "mengaitkan" atau terkait dengan yang "biru" atau pembesar.

Ada yang mengaitkan dengan keturunan nabi, dengan reputasinya yang sama-sama diketahui. Itu hak sepenuhnya pada yang percaya dan mengaitkan atau memang berkaitan langsung. Silakan saja.

Ada pula yang mengaitkan dengan keturunan raja di masa kejayaan masa lalu. Pun bagi yang percaya dan merasa percaya diri dengan itu silakan. Ketika itu memang menjadi kekuatan dan memang tidak ada yang dirugikan juga kog secara hukum, memang mengapa tidak? Kalau ada yang aneh dan merasa lucu, juga wajar.

Terbaru, Kompas.com memberitakan anak Presiden Soeharto mendapat gelar bangsawan dari keraton di dusun yang sangat kecil, mengagetkan karena kan banyak keraton besar seperti Solo ada dua, Cirebon, atau Jogya, namun kedua keraton tersebut jarang memberikan gelar memang.

Sedikit berbeda, namun ada keterkaitan, seorang rektor, di universitas kota kecil, kampus juga relatif kecil, setiap mengenalkan diri akan mengaitkan dengan abangnya yang seorang pastor. Ada "jabatan" di sebuah keuskupan besar di Indonesia, pernah menjadi orang nomor dua di keuskupan tersebut. Rektor lho, namun memang di kalangan Gereja Katolik, ada nilai khusus jika ada kerabat yang jadi rohaniwan atau biarawan biarawati. Mungkin ini yang dipakai.

Saya pun menjadi demikian ketika akan bertanya ke mesin pencari googlemisalnya, tidak akan cepat ketemu, berbeda ketika mengaitkan dengan Kompasiana. Baru dengan cepat akan disajikan berbagai kaitan dengan nama saya. Eksistensi dengan yang besar akan membuat mudah dikenali.

Mengapa orang demikian bangga dengan "darah biru" atau yang berbau asing?

Sikap minder dan rendah diri berlebihan. Mereka ini bisa saja bukan orang sembarangan, namun karena sikap rendah dirinya yang kuat, sehingga merasa perlu ketergantungan pada yang lebih besar, dalam hal ini bisa jabatan yang lebih tinggi, darah tertentu atau gelar ini dan itu. Hal yang sama adalah label tertentu. Seperti jabatan, gelar, atau agama.

Ketidakmauan bersyukur. Orang bisa mengatakan cukup sebenarnya. Namun selalu merasa kurang dan tidak puas yang kurang tepat sering membuat semua menjadi perlu yang lebih terus menerus. Seumpama minum air laut yang malah menambah haus dan haus lagi. Bersyukur bisa mengubah kekurangan emnjadi kelebihan.

Pengenalan diri yang keliru. Sering lho orang yang luar biasa karena tidak mengenal diri makanya selalu merasa perlu pembenar, masih membutuhkan pengakuan, mengaitkan dengan ini itu yang sekiranya bisa membuat makin eksis dan menambah rasa percaya diri. Padahal semua sudah ada. Karena memahami dengan tidak tepat, terus mencari dan mencari.

Apa yang perlu dilakukan?

Dunia memang menghendaki yang eksistensial, tidak heran orang akan berlomba-lomba untuk esksis. Takut akan tergerus oleh zaman dan keeksistensian diri, maka segala daya upaya akan dilakukan, salah satunya mengaitkan diri dengan yang lebih, baik lebih besar, lebih tenar, atau lebih menjanjikan. Apakah itu penting? Sebenarnya tidak juga. Memang ada yang menilai bahwa itu penting dan utama.

Sebenarnya apa yang perlu dibangun adalah;

Sikap percaya diri, bahwa semua orang itu unik, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika melongok terus ke kebun tetangga. Tidak akan ada habis-habisnya. Kepercayaan diri membantu menjadi sikap nromo ing pandum.Tidak akan tamak dan rakus, klaim sana sini.

Membangun sikap cukup dan tidak berlebihan. Cukup tidak perlu memaksakan diri, kemudian menjadi berlebihan, dan bisa menjadi bahan cibiran ketika mengaitkan diri dengan tidak semestinya.

Rekam jejak jauh lebih abadi. Coba apa yang sudah dilakukan, sesuai kapasitasnya tentu, akan menenteramkan batin, daripada melihat prestasi pihak lain. Hidup tidak akan tenteram jika demikian terus. Mati pun tidak siap jadinya.

Prasasti itu adalah prestasi. Jangan khawatir akan dilupakan jika memang memiliki jasa, namun jangan paksakan bahwa itu prestasi kalau memang tahu bahwa hal itu hanya sensasi. Viral, tenar, dan populer yang instan juga akan instan pula hilangnya. Tidak perlu khawatir berlebihan sebenarnya.

Prestasi tidak terkait dengan darah atau jabatan. Tengok saja yang masih memiliki "simbol" raja, toh perilakunya juga tidak lebih mulia, malah terkena skandal menghamili gadis, berebut harta dan tahta, dan sejenisnya. Artinya prestasi itu bukan berkaitan dengan darahnya, namun kualitas pribadinya.

Memangnya kalau sudah mengenakan, mendapatkan gelar ini dan itu otomatis menjamin kualitas hidup juga menjadi lebih baik? Darahnya tidak salah, gelarnya tidak salah, namun kalau berlebihan di dalam memuja gelar atau darah, apa sih yang diperoleh?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun