Heboh, bangga jika memiliki darah biru, asing, atau apapun berbau asing. Berphoto dengan bule, artis, pesohor, atau bangga dengan menyisipkan istilah asing, atau keseluruhan asing. Lihat saja bagaimana heboh dengan Vicky Prasetyo dengan kalimat tidak jelas, asal ada asingnya keren. Kali ini "mengaitkan" atau terkait dengan yang "biru" atau pembesar.
Ada yang mengaitkan dengan keturunan nabi, dengan reputasinya yang sama-sama diketahui. Itu hak sepenuhnya pada yang percaya dan mengaitkan atau memang berkaitan langsung. Silakan saja.
Ada pula yang mengaitkan dengan keturunan raja di masa kejayaan masa lalu. Pun bagi yang percaya dan merasa percaya diri dengan itu silakan. Ketika itu memang menjadi kekuatan dan memang tidak ada yang dirugikan juga kog secara hukum, memang mengapa tidak? Kalau ada yang aneh dan merasa lucu, juga wajar.
Terbaru, Kompas.com memberitakan anak Presiden Soeharto mendapat gelar bangsawan dari keraton di dusun yang sangat kecil, mengagetkan karena kan banyak keraton besar seperti Solo ada dua, Cirebon, atau Jogya, namun kedua keraton tersebut jarang memberikan gelar memang.
Sedikit berbeda, namun ada keterkaitan, seorang rektor, di universitas kota kecil, kampus juga relatif kecil, setiap mengenalkan diri akan mengaitkan dengan abangnya yang seorang pastor. Ada "jabatan" di sebuah keuskupan besar di Indonesia, pernah menjadi orang nomor dua di keuskupan tersebut. Rektor lho, namun memang di kalangan Gereja Katolik, ada nilai khusus jika ada kerabat yang jadi rohaniwan atau biarawan biarawati. Mungkin ini yang dipakai.
Saya pun menjadi demikian ketika akan bertanya ke mesin pencari googlemisalnya, tidak akan cepat ketemu, berbeda ketika mengaitkan dengan Kompasiana. Baru dengan cepat akan disajikan berbagai kaitan dengan nama saya. Eksistensi dengan yang besar akan membuat mudah dikenali.
Mengapa orang demikian bangga dengan "darah biru" atau yang berbau asing?
Sikap minder dan rendah diri berlebihan. Mereka ini bisa saja bukan orang sembarangan, namun karena sikap rendah dirinya yang kuat, sehingga merasa perlu ketergantungan pada yang lebih besar, dalam hal ini bisa jabatan yang lebih tinggi, darah tertentu atau gelar ini dan itu. Hal yang sama adalah label tertentu. Seperti jabatan, gelar, atau agama.
Ketidakmauan bersyukur. Orang bisa mengatakan cukup sebenarnya. Namun selalu merasa kurang dan tidak puas yang kurang tepat sering membuat semua menjadi perlu yang lebih terus menerus. Seumpama minum air laut yang malah menambah haus dan haus lagi. Bersyukur bisa mengubah kekurangan emnjadi kelebihan.
Pengenalan diri yang keliru. Sering lho orang yang luar biasa karena tidak mengenal diri makanya selalu merasa perlu pembenar, masih membutuhkan pengakuan, mengaitkan dengan ini itu yang sekiranya bisa membuat makin eksis dan menambah rasa percaya diri. Padahal semua sudah ada. Karena memahami dengan tidak tepat, terus mencari dan mencari.
Apa yang perlu dilakukan?