Satu, keduanya dari Jawa, Yogja dan Solo, bahkan Pak Wiranto, remaja di Solo. Memang bukan hal yang besar, namun bisa membuat masalah jika tidak dikelola dengan semestinya. Politik identitas dan SARA masih kuat.
Dua, militer, banyak pihak yang antimiliter, namun tidak mau tahu kondisi dan fakta yang ada. Hal yang cukup krusial jika menghadapi  massa yang sangat masif sebagaimana 2016 akhir hingga 2017 awal itu. Kembali kalau bisa mengemas akan apik, namun jika gagal, cukup riskan.
Tiga, HANURA tidak cukup punya kekuatan yang bisa "berkelahi dan bertempur" untuk bisa menjadi peraup suara yang signifikan. Berbeda dengan partai lain yang memiliki tokoh-tokoh populer kadang kontroversial namun memiliki cukup banyak pendengar dan pengikut. Memang tidak dignifikan, namun cukup membantu. Misalnya Ruhut, duet F, itu cukup membantu. Meskipun kadang asal dan tidak berdasar, toh ada juga pengikut setianya.
Kelemahan yang ada, toh oleh tim sukses bisa dipoles dan dijadikan bahan kajian untuk meminimalisir, dan menguatkan apa yang menjadi kekuatan. Toh kekuatan pun jika salah dalam mengelola bisa menjadi bumerang dan lobang yang cukup besar untuk lawan politik menggorengnya.
Tentu nama ini bukan menafikan nama lain yang juga cukup potensial, bahkan belum terdengar sekalipun. Toh 2014 nama Pak Jokowi baru naik daun, pun Pak JK yang sudah mundur dalam politik bisa naik lagi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H