Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR-RI dan Dongeng Jepang, Monyet dan Kepiting

21 Februari 2018   05:20 Diperbarui: 21 Februari 2018   11:11 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DPR-RI, dan dongeng Jepang, monyet dan kepiting, dalam sebuah buku tulisan Mohamad Sobari ada kisah mengenai monyet yang tamak dan membunuh kepiting yang telah memberinya mandat untuk memetik buah kesemek, hasil kerja keras kepinting, ini sebuah dongeng Jepang.

Dikisahkan, kepinting seneng karena pohon kesemek yang ia tanam sudah mulai berbuah dan kini bahkan banyak yang sudah masak. Apadaya, kepiting tidak bisa mengambilnya, apalagi memanennya. Mengetahui keterbatasannya, ia meminta monyet mengambilkan buahnya untuk kepiting juga si monyet tentunya.

Eh malah monyet yang kegirangan lupa ingatan siapa yang punya pohon dan sudah susah payah menanam dan merawatnya. Ia panen di atas pohon dengan lahap, mulut penuh, kedua tangan pun sarat dengan kesemek yang matang pohon.

Si keping minta bagiannya, toh itu pohonnya. Apa yang dilakukan monyet sangat kurang ajar. Malah ia lemparkan kesemek mentah, atau sisa-sisa yang ia kerokoti, atau yang busuk ia lemparkan ke pemilik pohon.

Masih sabar kepinting memohon, jawaban melecehkan malah diterima, ambil sini sendiri kan pohonmu, kenapa harus meminta aku, sampil disemburkannya remah-remah kesemek ke arah kepinting. Makin kurang ajar dan lupa daratan rupanya si monyet.

Hilang sabar, si kepiting mengatakan, kalau monyet tidak tahu diuntung, mengambil apa yang bukan haknya, lupa pada yang memberinya kepercayaan dan mandat, serta berpesta tanpa mau susah menanam.

Monyet marah dan tersinggung. Ia ambil satu buah kesemek mengkal dan dilemparkan sengaja ke bagian tubuh kepiting yang malang itu. Lemparan dengan sepenuh tenaga dan emosi itu meremukkan kepiting berkeping-keping. Mati seketika tanpa menikmati kesemek tanamannya sendiri.

Di atas pohon monyet makin senang karena tidak ada lagi yang mengusik ketamakannya panen di atas pohon kepinting yang telah ia bunuh. Ia abai akan telur-telur kepiting yang ada di dalam tubuh kepiting yang ia lempar kesemek itu kini sudah lahir dan meruyak ke mana-mana.

Akhirnya pun monyet itu mati karena dibunuh anak-anak kepiting. Ini bukan soal balas dendam, namun konsekuensi logis atas perilaku tamak di monyet. Siapakah si monyet itu? Bisa siapa saja, asal ia lupa akan kepercayaan, tanggung jawab, dan perilaku tamak karena tidak pernah merasa cukup atas apa yang menjadi haknya.

Si tamak, siapa mereka? Bisa siapa saja yang mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemimpin, menjadi orang yang dipercaya eh malah mengabaikan kepercayaan itu untuk diri dan kelompoknya sendiri dan melupakan yang memiliki jasa, mempunyai mandat, dan membuat mereka demikian. sebenarnya mirip juga dengan legenda malin kundang di Padang sana. Mengeruk kekayaan dan kesempatan demi kepentingan diri sendiri dan kelompok, memberikan sisa-sisa dengan atas nama suci dengan berbagai jenis namanya.

Siapa yang menjadi gambaran atau simbolisasi kepiting, siapa saja yang mau bekerja keras, mau menanam, mau berjuang, dan mau berproses di dalam hidupnya. Apakah banyak yang demikian? Jelas banyak namun sering menjadi tidak berdaya karena adanya regulasi, peraturan, dan keterbatasan lainnya. ironisnya keterbatasan itu sejatinya bisa dijembatani, bisa diusahakan untuk dikurangi, namun oleh perilaku si tamak, justru makin dipersulit, dibuat-buat sehingga "kepiting" hanya menjadi penonton atas usaha kerasnya.

Apakah kematian monyet itu buah balas dendam? Tidak semata-mata karena balas dendam. Falsafah Jawa mengatakan, ngundhung wohing pakarti,memanen perbuatan sendiri, dan kebak sundukane,terlalu banyak perbuatan buruk yang ia lakukan. Kematiannya tidak semata karena bakas dendam oleh keturunan si kepiting, namun karena perilaku tamak yang membuat gerah. Bangsa ini sebenarnya kenyang dengan pengalaman model demikian. siapa sangka '98 bisa terjadi bukan? Orang yang demikian kuat, banyak pendukung, toh gawal juga.

Apa yang terjadi itu adalah hal yang alamiah, monyet berpikir karena ia bisa memanjat  ia aman, ia bisa berbuat sesuka hatinya, meskipun punya capit toh kepiting tidak bisa mengejarnya dan meremukkan tangannya misalnya. Tahu diri dan tahu batas. Sepandai-pandai tupai melompat ia gawal juga, pun se-tamak-tamak monyet, mbok yo tahu diri, dari pada ia mati meledak perut atau pipinya coba.

Pun demikian dengan dewan yang selama ini seenak udelnya sendiri, jangan lupa "kepinting" tidak bisa mencapai dewan, namun masih ada MK, KPK, kejaksaan, dan jangan lupa Sang Pencipta. Katanya agamanya tersentuh sedikit saja mengatakan penistaan agama, ada yang menyimpang dari pakem sedikit katanya menodai, lha perilaku kalian yang lupa mandat itu apa namanya?

Ini bukan nyumpai atau membalas dendam, mbok tahu diri dikit, siapa pemilik pohon siapa yang dimintai tolong. Jangan mentang-mentang dan jangan tamak, itu saja. Semua ada batasnya. Semua ada akibat yang akan ditanggung oleh masing-masing. Semua tidak ada yang salah waktu dan tempat menerima wohing pakarti,buah perbuatan. Manen bukan tempatnya itu maling.

Salam

Inspirasi: Demokrasi Tukang Copet,Muhamad Sobari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun