Apakah kematian monyet itu buah balas dendam? Tidak semata-mata karena balas dendam. Falsafah Jawa mengatakan, ngundhung wohing pakarti,memanen perbuatan sendiri, dan kebak sundukane,terlalu banyak perbuatan buruk yang ia lakukan. Kematiannya tidak semata karena bakas dendam oleh keturunan si kepiting, namun karena perilaku tamak yang membuat gerah. Bangsa ini sebenarnya kenyang dengan pengalaman model demikian. siapa sangka '98 bisa terjadi bukan? Orang yang demikian kuat, banyak pendukung, toh gawal juga.
Apa yang terjadi itu adalah hal yang alamiah, monyet berpikir karena ia bisa memanjat  ia aman, ia bisa berbuat sesuka hatinya, meskipun punya capit toh kepiting tidak bisa mengejarnya dan meremukkan tangannya misalnya. Tahu diri dan tahu batas. Sepandai-pandai tupai melompat ia gawal juga, pun se-tamak-tamak monyet, mbok yo tahu diri, dari pada ia mati meledak perut atau pipinya coba.
Pun demikian dengan dewan yang selama ini seenak udelnya sendiri, jangan lupa "kepinting" tidak bisa mencapai dewan, namun masih ada MK, KPK, kejaksaan, dan jangan lupa Sang Pencipta. Katanya agamanya tersentuh sedikit saja mengatakan penistaan agama, ada yang menyimpang dari pakem sedikit katanya menodai, lha perilaku kalian yang lupa mandat itu apa namanya?
Ini bukan nyumpai atau membalas dendam, mbok tahu diri dikit, siapa pemilik pohon siapa yang dimintai tolong. Jangan mentang-mentang dan jangan tamak, itu saja. Semua ada batasnya. Semua ada akibat yang akan ditanggung oleh masing-masing. Semua tidak ada yang salah waktu dan tempat menerima wohing pakarti,buah perbuatan. Manen bukan tempatnya itu maling.
Salam
Inspirasi: Demokrasi Tukang Copet,Muhamad Sobari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H