Demokrasi politik hukum rimba sedang dibangun oleh beberapa pihak. Hutan dan savana memiliki hukum yang tidak mengenal namanya belas kasih. Semua terjadi karena memang mekanisme instingtif, naluriah untuk bertahan hidup, dan tidak akan adanya pelanggaran hak asazi hewan atau binatang. Macan menerkam kancil ya biasa saja, riuh sekejap dan nanti tenang lagi. Kijang minum di  tempat yang sama, mungkin akan diterkam buaya atau singa, tidak akan ada pengadilannya. Demikian juga jika buaya ketemu ular sanca dan kemudian mereka bergelut dan mati bareng, tidak akan ada wasit, atau jaksa yang akan menuntut apapun.
Miris adalah ketika hutan dan savana memiliki hukum sendiri, manusia modern malah mengekor mereka. Jiwa sportif mereka itu ada naluriah untuk menyatakan cukup. Mengapa tidak ada singa, harimau, atau ular kena struk padahal makanannya daging? Jelas mereka berhenti ketika cukup dan berlari untuk berburu, yang masuk dan keluar seimbang.
Tidak ada kambing atau jerapah yang terkena asam urat padahal makan daun bayam dan nangka sekalipun. Coba bayangkan beruang madu hanya makan atau minum madu, mereka tidak pernah ada yang diabetes. Ada kata cukup,tamak hanya milik makhluk berakal budi yang bernama manusia.
Apa manusia tidak tahu yang namanya cukup? Jelas mereka tahu. Tahu sebagai pengetahuan bukan naluriah, keputusan bebas yang hanya milik manusia, eh malah membuat mereka menerabas batas demi kepentingan diri sendiri. Kata dan batasan cukup tidak ada bagi perilaku manusia tamak. Demi kepentingan ketamakan dan ketidakcukupannya, ia dibekali untuk bisa mengindar dari bahaya hukum yang bisa menjeratnya.
Jika kijang atau rusa agar tidak kena terkam harimau, mereka minimal akan bergerombol, menjaga kewaspadaan, namun mereka tidak bisa membela diri dengan mengeroyok si harimau dengan beramai-ramai menginjak-injak misalnya, atau menanduk dengan barengan. Mereka akan menyelamatkan diri mereka, temannya menjadi "tumbal" atas keselamatan kelompok. Manusia dengan membuat hukum yang melindungi diri dan kepentingannya, mau mengorbankan orang lain tidak penting.
Siapa kuat ia menang dan memimpin malah demikian kuatnya dari gedung dewan ataupun birokrasi. Lihat saja bagaimana kekuasaan dengan menindas dalam arti yang sungguh-sungguh seperti dalam hukum rimba terjadi. Demokrasi diarahkan kepada yang penting banyak pengikut dan pemilih, mau berkontribusi balik pada pemilih atau tidak bukan menjadi pedoman. Lihat saja bangga dengan pemilih banyak namun abai akan penderitaan rakyat dan kerusakan bangsa. Kursi sebagai andalan dan tujuan, bukan kesejahteraan. Apa beda dengan macan yang dapat satu mangsa yang lemah dalam kelompok coba?
Batasan cukup yang naluriah itu dilepaskan oleh Pencipta agar manusia bisa menimbang baik dan buruk, eh malah bablas dan makan dengan rakus dan tamak. Apapun dimakan, termasuk orang lain. perilaku tamak dipertontonkan dengan glamor dan tidak malu-malu. Mengapa? Karena mereka banyak, kuat, dan bisa mempengaruhi persepsi massa. Kembali tersaji hukum rimba modern dan katanya orang beradab dan beragama itu. Memalukan karena jauh dari norma agama dan norma adab manusiawi sebenarnya.
Merasa benar karena temannya banyak. Kekuatan dan kekerasai itu ciri orang yang lemah, tidak mengandalkan otak dan budi. Apa beda dengan hewan jika dengan demikian? Lihat saja  perilaku elit dan akar rumput jika sudah bersama-sama. Selalu merasa benar dan tidak peduli merugikan orang lain. Apa mereka tidak tahu kalau salah? Jelas saja tahu mana yang baik, mana yang benar, dan mana yang salah. Mereka paham, namun karena enak di dalam kesalahan dan nyaman, pelanggaran bahkan kekerasan pun dilakukan.
Apakah pembuat hukum tidak tahu kalau mereka itu merencanakan, merancang, dan mengondisi-kan  yang menguntungkan mereka? Jelas mereka paham dan tahu banget. Tidak mungkin lah mereka tidak bisa memilah. Mereka justru tahu akibat yang ditimbulkan maka mereka bersiasat. Coba apa bedanya dengan babi hutan yang makan tanaman warga karena mereka kelaparan? Sama-sama ngawur, kalau celeng karena lapar, kalau yang lain karena tamak dan tidak mau susah serta tidak  mau bertanggung jawab.
Manusia itu oleh filsuf ada yang mengatakan sebagai hewan yang berakal budi, artinya, satu tingkat di atas hewan karena diperlengkapi akal budi. Nah ketika akal budi itu ditanggalkan apa namanya? Atau masih ada tetapi bukan untuk kebaikan, apa tidak artinya menyia-nyiakan berkat luhur tersebut?
Masih memang akal budinya, tidak juga ditanggalkan, namun dipakai untuk mengelabui, mengaburkan watak aslinya, dan membuat keadaan yang tidak baik menjadi seolah-olah baik. Persepsi mau dibelokkan sesuai dengan kepentingan. Waduh kasihan si musang yang sering dikaitan dengan musang berbulu ayam atau serigala berbulu domba. Mereka tidak bisa itu, yang bisa bersiasat dan licik hanya manusia.