Pengundian nomor urut parpol, kampanye, dan jebolnya pagar SUGBK, dan mentalitas bangsa, ironis melihat gegap gempita demokrasi yang diakui sebagai salah satu terbesar di dunia ini, jika menilik perilaku buruk, jahat, dan curang yang demikiaan jelas dipampang. Setali tiga uang dengan gembar-gembor modernnya SUGBK, namun dijebol dalam pemakaian perdananya. Ada jurang yang terlalu dalam antara kemasan dan isi, antara tampilan dan realitas, antara kemegahan dan pondasi yang  keropos.
Hingar bingar dalam hal apapun selalu meninggalkan sampah, pun dalam kampanye yang jelas begitu banyak orang, sedang pengundian nomor parpol untuk pemilu saja sampah juga bertebaran.Â
Salah satu yang paling memalukan adalah perilaku membuang sampah sembarang. Pola pikir, halah hanya satu bungkus permen, satu botol air minum dalam kemasan, lha kalau 100 orang, kalau 1000 orang masing-masing membuang satu bungkus roti, permen, dan air kemasan sudah ada 300 atau 3000 sampah. Budaya tertib masih jauh dari harapan.
Pun kerusuhan dan kerusakan yang selalu berulang. Efek jera belum ada. Perusak bisa lepas tangan, padahal tidak mungkin zaman moden demikian itu tidak ada rekaman. Malah kadang rekan perusak saja merekam kog. Pertanggungjawaban baik koordinator suporter, pelaku secara langsung, atau induk kelompok suporter perlu dilibatkan dan dimintai pertanggungjawaban. Pendidikan bukan hukuman. Pembiaran memberikan pembiasaan dan sikap abai makin menjadi dan merajalela.
Menyaksikan pawai, arak-arakan kampanye, miris sebenarnya. Bangsa ini bangsa besar, modern, dan berbudaya atau malah sebaliknya sih? Tilik saja kampanye apapun partainya, bentuknya, dan levelnya, kecenderungan umum adalah, pawai di jalanan, melanggar peraturan lalu lintas tidak mengenakan helm, berisik, menerabas lampu lalu lintas, anak-anakikut kampanye, pemborosanjadi politik beaya tinggi, ironisnya polisi mengawal baik di depan dan belakang konvoi.Â
Tidak heran ketika level di atas pun akan melakukan yang tidak jauh berbeda. Manipulasi data pemilih, pemanfaat panitia pemilihan dari level PPS hingga KPU pusat bisa terjadi. Â Dari sana bisa dilihat beberapa hal,
Pertama, pelanggaran dan pembiaran sangat jelas dalam level paling bawah. Calon pimpinan daerah dan kadernya bisa membuat tertib kog sebenarnya. Jika ketegasan minimal dalam suara kendaraan dan tertib atribut berlalu lintas saja sudah kemajuan, meskipun tidak cukup demikian. pawai bisa sebenarnya menggunakan sebagian media jalan dan yang lain untuk kepentingan umum. Berkaitan dengan hal ini kemudian timbul sikap buruk selanjutnya.
Kedua, arogan.Pimpinan daerah dan pejabat melalui gambaran kampanyenya bisa saja arogan dan sewenang-wenang. Gambaran pejabat kolonial yang meminta fasilitas. Tengok jalanan untuk pendukungnya saja. Coba main-main dengan massa? Polisi saja takut apalagi orang biasa. Sikap yang  jauh dari pelayan masyarakat jika demikian.
Ketiga, pemborosan, memang yang konvoi tidak perlu bensin untuk motor, truk, atau perut mereka? Jelas perlu lah. Dalih uang untuk transport inilah kemudian mengelabui soal politik uang. Dari manapun asalnya, baik kader urunan, atau entah caranya, yang jelas mereka cari kembalian modal. Ujung awal korupsi sudah jelas. Hal ini sebenarnya bisa dicegah dengan kemauan keras politikus yang memang berkehendak baik.
Keempat, pelibatan anak-anak,dalih anak di  rumah siapa yang mengasuh, lha tidak usah kampanye, bukan mengajak anak, berpanas-panas, mungkin juga hujan, bising, sangat tidak sehat. Mengapa memaksa berangkat? Karena fee, uang saku, dan adanya bayaran. Nah ini bisa juga jangan-jangan massa kampanye pun bisa orang "bayaran" besok berganti baju dan kaos serta bendera.
Apa artinya ini semua? Kemasannya keren, labelnya negara demokrasi terbesar, namun perilakunya masih sama saja. Dalam segala hal demikian. lihat saja saluran air dibuat bagus, rapi, namun penuh dengan tanah dan sampah tidak pernah dibersihkan. Yang penting nampak masalah bermanfaat atau tidak bukan menjadi pertimbangan dan pengamatan. Minim perawatan.
Penegakan hukum hanya di atas kertas. Â Nyatanya polisi mengawal pelanggar saja dengan seragam lengkap lho, padahal bis sebenarnya memberikan "tekanan" pada parpol untuk menertibkan massanya untuk tertib berlalu lintas. Ironisnya pengawal dari parpol dengan gagah perkasa pun melanggar peraturan dasarnya, helm, kepalanyaterlindungi kerennya baret partai. Â Jika yang sepele saja tidak bisa taat, apalagi yang lebih besar, seperti azas dan komitmen seperti ideologi dan hidup bersama.
Partai politik dengan gawai besarnya pemilu lima tahunan dan pilkada sejatinya adalah barometer kemajuan berpolitik dan berdemokrasi. Ternyata masih sama saja, sami mawon levelnya belum beranjak. Demokrasi akal-akalan ala bandit demokrasi yang mewarnainya. Susah berharap banyak jika demikian. Apakah yakin jika gambaran arogan, boros, dan pelanggar peraturan demikian bisa menjadi pejabat bersih, tertib hukum dan azas, serta berjalan sesuai dengan jalur demokratis?
Kehendak baik dalam berdinamika di dalam politik. Susah mengharapkan lebih baik jika mental dan sikap batinnya tidak berubah. Hingar bingar boleh, namun tertib dan tidak membuang sampah sembarangan itu juga penting. Jika hal sepele tersebut bisa, pemerintahan bersih bisa diharapkan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H