Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Draf RUU MD3 dan Keputusan MK Membuat DPR Makin Super Power

11 Februari 2018   12:00 Diperbarui: 11 Februari 2018   12:20 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Draf RUU MD3 dan keputusan MK membuat DPR makin super power,  sebenarnya dewan yang kuat baik dan bagus untuk pemerintah sehingga tidak menjadi otoriter dan tukang stempel semata. Namun jika melihat reputasi mereka. Yakin dipakai untuk yang baik di dalam bernegara? Apa sih yang mereka hasilkan selama ini? berbulan awal hanya rebutan kursi karena kalah pilpres. Seperti anak kecil yang ngambeg kalah main kelereng dan ngamuk. Sandera menyandera. Pun di dekat akhir ini mulai lagi kursi lagi.

Di tengah kemarin ribut dengan KPK, sandera menyandera karena banyak anggotanya yang terkena jerat, pun pucuk pimpinannya juga. Nihil hasil untuk bangsa dan negara, selain hanya mempertahankan diri dan kursinya masing-masing. Paling tahun ini dan awal tahun dewan gedung dewan melompong, karena dua gawe besar politik.

Pertimbangan kanak-kanak dan ngambegan membuat dewan makin tidak karuan, merombag UU hanya karena kepentingan kursi dan diri sendiri. Memalukan.Mengenai draf polisi yang bisa memaksa yang dipanggil dewan ini pun karena mereka tidak berdaya mengelabui KPK dan lembaga yang membuat mereka kalang kabut. Jika dewan itu berwibawa dan bekerja profesional,lembaga lain pasti segan. Tidak akan menolak untuk datang. Mengapa menolak? Karena memang yang dipanggil itu tidak menghormati dewan yang memang tidak terhormat, seperti KPK. Mengapa tidak terhormat? Karena perilaku mereka yang tidak patut.

Mereka tidak tahu pantas dan tidak pantas, atau jangan-jangan benar dan salah pun mereka tidak tahu? Jika memanggil paksa dengan bantuan polisi bisa terjadi. Ada dua hal yang menakutkan. Pertama,melihat reputasi mereka yang tidak tahu aturan bisa menjadi seenaknya sendiri memaksa-maksa pihak lain seolah pelaku kriminal. Mereka bukan penegakk hukum, tapi pembuat hukum jangan campur aduk. Susah bisa diyakini mereka bisa kerja dengan profesional, selama ini saja tidak baik. Kedua,kepolisian menjadi alat dewan yang kekanak-kanakan demi kepentingan mereka. Bis aberpengaruh pada netralitas kepolisian.

Masalah itu pada dewan yang memang tidak kompeten, profesional, dan lemah namun menggunakan alat kekuasaa lain, dalam hal ini polisi untuk "memaksa" pihak lain yang memiliki pandangan berbeda. Padahal jelas polisi bukan "bawahan" dewan.

Menempatkan KPK sebagaian bagian eksekuitf, membuat dewan bisa seenaknya untuk menjadi "pengontrol dan pengawas KPK", padahal selama ini, maling terbanyak yang kena tangkap KPK berawal atau berasal dari dewan. menjadi bumerang luar biasa bagi KPK. Pak Mahfud MD mengatakan kalau keputusan ini tidak berlaku surut, maka pansus yang kemarin memang tidak bisa menjerat KPK kali ini, tapi apa iya mereka paham. Jika pun paham, menakutkan kebiasaan mereka yang seenaknya akan kembali memakan KPK untuk kepentingan mereka. Bisa saja nanti panggil KPK karena tidak mau KPK menelisik ke arah mereka, bukan karena kesalahan KPK, asumsi dan persepsi mereka yang kacau balau dengan dalih di eanah eksekutif mereka bisa berlaku seenaknya seperti dengan menteri.

KPK kan lembaga sementara bukan lembaga tetap, presiden saja tidak bisa melakukan intervensi dan bukan atasan secara birokratis, namun jika keputusan demikian, dan reputasi dewan yang demikian? Hanya  miris yang ada. Menarik adalah keputusan ini pun hanya  4 vs 5, artinya sangat bisa diperdebatkan. Apalagi didahului adanya pertemuan kedua belah pihak di tempat yang tidak semestinya. Cenderung politis dan bukan semata konstitusional. Jika 7 banding 2 atau 6 banding 3 masih wajar lah.

Dewan dengan "tambahan kewenangan" ini makin menakutkan, bukan dalam arti bahwa membuat pemerintah dan jajaran menjaid kuat dalam pengawasan, malah mengerikan karena mereka yang tidak tahu apa-apa dengan "kewenangan" luar biasa menjadi arogan. Ingat gaya preman yang suka kekerasan kan karena mereka tidak memiliki kemampuan selain otot. Beda dengan bos mafia yang memakai otak dan pikirannya. Pengawasan bukan kinerja hebat tapi mata melotot karena kelaparan dan melihat peluang yang mungkin hilang.

Lebih baik membenahi ke dalam, dengan ribuan kali soal kehadiran dalam ruang sidang saja sudah hebat, jangan jauh-jauh untuk berpikir soal produk atau kinerja. Toh ini pun masih buruk. Apalagi jika bicara kualitas. Yang bicara ya itu itu saja, pun tidak jauh dari membela kolega yang maling, mengritisi pemerintah katanya, padahal nyinyir, begitu-begitu saja. Mana ada buah pikir brilian untuk bangsa dan negara. Lebih memalukan lagi bicara produk.

Kinerjanya sendiri saja masih jelek, buruk, tidak berkualitas, tapi sok-sokan menjadi pengawas yang memang seharusnya itu, padahal mereka sendiri sangat buruk. Susah untuk membenahi jika mereka sendiri tidak mau berkaca, dan merasa diri paling benar.

Partai politik sebagai induk perlu kerja keras untuk memperbaiki kualitas dewan. Tidak sekadar ijazah karena toh beli atau malak jug bisa, tapi soal mental dan moral dulu dibenahi. Apa bisa? Pesimis sih.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun