Sebenarnya sudah lama ada setumpuk tanya untuk PKS dalam benak saya. Terutama sejak setahunan lalu, ketika menemukan buku yang dalam istilah saya, merupakan "buku kaderisasi milik PKS". Buku ini dikeluarkan oleh salah satu kantor DPD. Judul bukunya Pedoman Tarbiyyah Anggota Muda (Marhalah Muayyid), tapi pagi-pagi ada rekan Kompasianer mengirimkan link soal PKS dan ketika di buka, isinya kok mirip dengan apa yang saya baca. begitupun kiriman artkel dari keponakan.
Sebuah partai politik tentu dimaksudkan untuk ikut dalam tujuan nasional berbangsa dan bernegara. Menggunakan dasar Pancasila dan UUD '45, meskipun berlandaskan agama, apa juga perlu untuk memisahkan dengan bahasa lugas dan bahkan kasar? Menjadi aneh, ketika di daerah lain PKS juga megusung nonmuslim sebagai calon pemimpin.
Ada inkonsistesi di tubuh PKS. Mungkun mereka akan berdalih bahwa politik itu cair. Tanya pertama dalam benak saya, bagaimana pertanggung jawaban atas salah satu materi tentang hartanya tidak pergi ke pihak Nonmuslim. Dalam pemikiran saya, hartanya tidak pergi ke pihak nonmuslim bisa dalam arti berbisnis, membagikan oleh-oleh, atau sekadar berbagi dalam kehidupan sehari-hari. Apa iya, jika di jalan mau menawarkan permen harus tanya dulu, apa agamamu?
Menurut saya, buku "panduan" tersebut sangat bagus, modern, dan ilmiah. Kaderisasi yang bukan asal-asalan, tapi mendalam dan sangat penting untuk iklim ideologi bangsa yang kini terasa kering nan hampa. Namun melihat isi dari buku tersebut dengan perilaku oknum elit partai ini, terbentuklah sebuah stereotip sekaligus pertanyaan ketiga, bagaimana mungkin orang yang diwajibkan untuk pemula saja mengaji Alquran dengan begitu rutin, tapi bisa berlaku curang dengan korupsi, memutarbalikan fakta sebagaimana beberapa oknum petinggi partai ini biasa berwacana dan berbicara. Agama dan ritual keagamaan biasanya akan linier antara apa yang dilakukan, dipikirkan, dan diucapkan. Selama ini banyak yang melakukannya jauh dari itu semua.
Apakah benar bahwa ini kebijakan partai di Indonesia? Jika iya, apakah yang dilakukan jajaran terkait, dengan keberadaan "pemecah belah" dilegalkan? Ataukah hal tersebut dianggap biasa saja? Masak sih, seseorang yang berniat berbagi dengan sesamanya walau berbeda keyakianan itu dilarang di Indonesia? Paling-paling mereka akan ngeles "itu bukan kebijakan partai" parah lagi malah menuduh "mengambil yang bukan haknya".
Apakah di tingkat lanjut akan ada pembicaraan pendalaman materi mengenai Pancasila dan Negera Indonesia secara mendalam? Saya ragu, mengapa justru di tingkat dasar pengetahuan mengenai berbangsa dan bernegara itu menjadi yang utama berbarengan dengan pembenahan sikap beragama, bertutur kata, dan bersikap.
Menarik dan bagus lagi adalah model kaderisasi mengikuti pelajaran di sekolah, ada tolok ukur yang jelas, penilaian yang pasti dengan parameternya. Membaca sekian jam di luar apa yang spesialisasinya, keren dan bagus. Krisis pengetahuan dan minat baca dibenahi, hal yang patut mendapatkan acungan jempol.
Mengenai kesehatanpun diperhatikan dengan baik dan serius, konsumsi gula, garam, dan lainnya menjadi bahan pertimbangan untuk kader muda, ada lulus dan tidak lulusnya. Keren dan bagus pendekatannya. Patut dicontoh bagi parpol lain dalam kaderisasi dan membina anggotanya.
Ketika kesehatan, tutur kata, dan bahkan tertawa saja menjadi perhatian dan penilaian, mengapa ada oknum petinggi PKS yang begitu bebas bersuara soal pihak yang berseberangan dengannya dengan ujaran yang amat menyerang? Coba lihat salah satu petinggi negeri sekaligus PKS yang bernama Fahri itu, ketika menghadapi KPK dan Jokowi atau pemerintah secara umum, apa linier dengan ajaran tentang tidak banyak mengobrol dan tidak berbisik dengan sesuatu yang bathil? Apalagi jika berkaitan menyesuaikan tindakan dan ucapan. Atau karena termasuk pendiri, jadi belum masuk dalam model pendidikan yang ada di dalam buku ini? jika demikian, apa yang diajarkan tidak dilakukan?
Secara umum, materi, pendekatan, dan penyampaiannya baik, memang ada beberapa hal yang berkaitan dengan dikotomi sektarian. Rasanya sangat tidak baik bagi hidup berbangsa dan bernegara, yang lekat dalam keberagaman. Memilih produk tertentu, bagaimana hidup di era modern, bersama tapi tetap mengedepankan sebuah sektarian yang tidak begitu urgen. Bukan soal haram dan halal atau najis, tapi soal asal yang bukan seagama. Hingga tersbersit kesan melebihi tuntutan Kitab Suci, kan?
Jika semua point-point tersebut dilakukan benar-benar, negara ini sebenarnya sangat maju, terlepas soal  beberapa item mengenai agama lain tersebut. Bagaimana pengaderan dengan terstruktur, materi ajar dan evaluasi jelas, mengapa berbeda jauh dengan faktanya?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H