Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan dalam Pendidikan, Belajar dari Peristiwa Sampang

4 Februari 2018   12:22 Diperbarui: 5 Februari 2018   10:28 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman guru dulu baru lulus, menghadapi anak memang tidak mudah. Kewibawaan memang tidak serta merta ada dalam diri para guru. Bantuan rekan sangat menentukan. Rekan muda tersebut sering berdiskusi, bertukar pengalaman dan akhirnya bisa menemukan trik jitu bagi dirinya menghadapi murid. Belum tentu suasana ruang guru dan kebersamaan dengan guru lain sama di setiap sekolah. Hal ini tantangan yang lagi-lagi di ruang kuliah tidak ada pembicaraan sama sekali.

Anak didik itu manusia yang memiliki karakter, luka batin, kepribadian, dan kejiwaan masing-masing. Artinya, mereka khas dan unik, inilah seninya menjadi guru, namun bisa juga menjadi bencana jika tidak siap. Belum tentu anak yang satu dengan yang lain sama di dalam menanganinya. Belum lagi jika orang tuanya sensi.

Suasana dan tata tertib sekolah juga mendukung. Memberikan ruang lebih bagi anak-anak tertentu, misalnya juara ini dan itu, bisa menjadi bencana ketika anak yang merasa istimewa ini ternyata dihadapi sebagai anak yang sama oleh guru yang tidak tahu atau idealis misalnya. 

Ini masalah besar jika guru tidak siap, apalagi anak yang biasa istimewa ini merasa tersentuh egonya. Memang pendidikan calon guru ada matkul Psikologi Perkembangan, toh teori, untuk aplikasi ya lemah.

PPL menjadi penting untuk meningkatkan jam terbang. Persoalan adalah ketika sekolah guru menjadi marak dengan adanya sertifikasi, satu angkatan 700 hingga 1000 di kota kecil, sekolah mana yang bisa menjadi "ajang" coba-coba? Padahal hal ini sangat penting. Penguasaan kelas tidak mudah lho, jangan remehkan, semua pernah jadi siswa apalagi di K ini, kalau jadi guru gak banyak  rasanya.

Sikap politis yang menempatkan matpel "istimewa" membuat anak tidak respek dengan pengampu matpel yang biasa. Jangan heran mereka mana berani bersikap sok dengan guru fisika, matematika, Bahasa Indonesia, dan sejenisnya. 

Mata pelajaran UN, dan sikap yang jelas ditampilkan sekolah dengan fasilitas khusus, jam tambahan, anak diajar secara tidak langsung meremehkan matpel tertentu. Dalam kasus almarhum adalah guru seni.

Buka soal kasus per kasus, namun soal pendidikan. Bagaimana pendidikan bisa menghasilkan anak didik tidak respek pada guru seperti ini? Ini bukan hanya meminta anak instrospeksi, guru berkaca, atau apa? Namun masalah mendasar dunia pendidikan.

Hukuman saja tidak cukup, jika berbicara kasus, namun bagaimana dunia pendidikan berbenah demi perbaikan. Lepaskan dari kepentingan-kepentingan yang tidak mendasar atas pendidikan. Politik, bisnis, dan yang tidak mendukung pendidikan secara langsung saatnya menyadari dan beralih, bukan lahan untuk yang lain-lain.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun