Kekuasaan anonim, kekuasaan voyeurisme, egologi, dan demokrasi, bagaimana dan seperti apa sih yang ada di Indonesia ini? Masing-masing memiliki kekhasan dan sering dilakukan oleh elit dan pejabat serta politikus negeri ini. Semuanya padahal mengaku sebagai pribadi-pribadi demokratis dan pejuang demokrasi yang ulung.
Kekuasaan anonim, biasanya karena gaya atau jiwa borjuis, dengan ciri berjarak, lebih memilih selebrasi, upacara, lebih banyak basa-basi, dan  kepalsuan di sana-sini, serta retorika menjadi andalan, bukan kinerja apalagi prestasi. Tentu tanpa menyebut nama kita tentu paham siapa saja politikus yang ada di negeri ini yang menganut gaya demikian.
Ciri menonjol lainnya adalah tidak melakukan apapun, agar tidak perlu menyakiti siapapun. Kembali bukan bahwa banyak pejabat yang tidak mau repot, takut tidak tenar, tidak suka memiliki musuh atau tidak disukai. Pembangunan tentu akan membaw konsekuensi yang tidak enak, dan ini bagi politikus yang menggunakan paham ini tentu enggan melakukannya. Toh tidak melakukan apa-apa juga nanti jadi lagi, dipilih lagi.
Sering kan kita dengar politikitu kotor, akhirnya hal ini mengubah pemahaman masyarakat yang enggan menggali lebih jauh sehingga memberikan "keesmpatan" pada mereka untuk berbuat semaunya, kan politik kotor. Apa yang digembar-gemborkan sebagai politik itu kotor sebenarnyalah mereka enggan kerja keras, memaknai kinerja mereka, dan memilih yang bernilai. Kemalasan mereka dibungkus dengan jargon legendaris, politik itu kotor.
Kekuasaan voyeurisme,istilah yang merujuk pada kelainan jiwa dalam hal seksualitas, namun tepat juga di dalam ilmu politik. Di mana politikus model ini hanya melihat dari jauh namun serasa sudah melakukan banyak hal. Ciri menonjol mereka adalah penuh kepura-puraan. Dengan gampang bukan kita saksikan bagaimana mereka gembar-gembor jangan korupsi atau berantas terorisme, padahal mereka sendiri tidak lepas dari itu semua. Pancasila harga mati, tapi suatu waktu menyatakan Pancasila sebagai salah, dan banyak trik yang gamblang terbaca.
Sifat yangmenonjol lainnya adalah pura-pura,bagaimana politikus negeri ini paling pinter untuk itu. Pura-pura sakit, pura-pura lupa, mungkin juga mereka pikir pura-pura menjadi pejabat, sehingga kinerjanya nol. Kepura-puraan yang disandang terus menerus bisa membuat mereka bingung mana yang asli atau  kedok. Bagaimana sekaligus mengutuk komunis namun menggunakan cara-cara komunis di dalam pola pikir dan pola tindak mereka. Siapa mereka, tentu sudah paham bukan?
Egologi, mengoperasikan logos sendiri. Menganggap orang lain tidak ada. Mengandalkan kelompok, anggota yang banyak yang menang, seolah-olah demokrasi, padahal egoisme dengan kedok demokrasi. Bagaimana bisa ketika demokrasi namun menolak pluralitas, menolak yang berbeda sebagai salah dan musuh. Sikap menganggap diri dan kelompoknya saja yang baik, benar, dan layak ada. Pihak lain tidak perlu, tidak layak untuk eksis, dan seterusnya.
Demokrasi ketika masih akal-akalan, menang-menangan, dan mencerminkan sikap-sikap di atas, jelas belum demokrasi yang sesungguhnya. Repotnya adalah para elit terbahak-bahak dan menggunakan keterbatasan masyarakat untuk kesenangan mereka sendiri. Mereka bisa melakukan apa saja dengan dalih demokrasi. Demokrasi semu ciptaan mereka sendiri yang lebih cenderung egologi semata.
Mereka tidak mungkin tidak tahu akan hal ini, bahwa mereka menyelewengkan demokrasi demi keuntungan sendiri. Mereka tidak melakukan apapun demi menyenangkan pemilih, kemudian ditinggalkan. Apa yang terjadi selanjutnya dengan model demikian adalah korupsi.
Demokrasi model demikian akan menghasilkan perilaku korup, Â diawali karena memang bukan ingin menjadikan negara dan hidup bersama sebagai sebuah pengabdian, memperjuangkan kesejahteraan bersama, dan sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Mereka akan dengan fasih mengatakan apa tujuan bernegara, namun serentak mereka juga maling dan mengeruk semua kekayaan negara ini demi kepentingan sendiri dan kelompok sendiri.
Tidak heran, maraknya korupsi bukan malah berkurang, namun malah makin berkembang dengan pembelaan demi pembelaan yang sejatinya memperlihatkan kualitas, pola pikir, dan ke mana arah mereka di dalam memandang korupsi dan demokrasi di sini. Mirisnya mereka adalah elit negara, yang banyak yang mengikuti.