Keempat,pada reaktif tanggapannya tidak terkendali karena sifat spontan dan diwarnai pengalaman masa lalu. Berbeda dengan responsif yang memberikan tanggapan dengan terkendali dan proporsional atas penyataan, meskipun ada provokasi bisa dengan elegan menjaga jarak untuk bisa terkendali dan tidak terpancing.
Kelima, Â reaktif memiliki kecenderungan untuk menyerang, padahal belum tentu demikian yang dimaksudkan oleh aksi oleh pihak satunya. Menyerang karena poin-point di atas yang menjadi pola pikir dan pola tindaknya. Bagi yang responsif, memberikan tanggapan sebagai jawaban atau bantahan dengan sesuai apa yang menjadi fokus bahasan. Tanggapan bukan untuk mengalahkan, namun bisa menemukan titik temu, baik sama ataupun berbeda.
Keenam,reaktif cenderung untuk menutupi kelemahan. Pihak lain di nilai sebagai "penyerang" yang akan mempermalukan. Pribadi yang responsif akan melakukan balasan sebagaimana adanya. Tidak ada serang menyerang atau merasa terintimidasi.
Ketujuh,reaktif akan memikirkan akibat itu belakangan. Tidak peduli apa yang akan terjadi, yang penting bereaksi dengan cepat. Berbeda dengan responsif yang memikirkan dulu dampaknya dan baru memberikan tanggapan.
Tentu semua memiliki cara, tabiat, dan pengalaman masing-masing. Namun untuk bisa menjadi responsif dan bukan pribadi yang reaktif perlu banyak belajar. Belajar untuk menerima perbedaan sebagai bagian utuh pribadi yang hidup bersama. Apakah mudah tidak juga. Apalagi pengalaman traumatis masa lalu bisa sangat berpengaruh di dalam menjadi ribadi seperti apa.
Mau reaktif atau responsif itu sebenarnya sama saja, hanya bagaimana  nanti hasil akhirnya tentu berbeda. Menyulut api perselisihan sangat mudah di tengah kepercayaan yang penting tanggapan dulu, mau menyakitkan atau tidak bukan menjadi pertimbangan. Hal ini nampaknya mulai menjadi gejala dan gaya hidup baru bagi sebagian besar pengguna media, khususnya media sosial kita.
Keberanian menjaga jarak dan sejenak memberikan waktu untuk memikirkan sebab akibat yang bisa timbul menjadi persoalan di mana keyakinan siapa cepat itu baik. Kadang kemajuan teknologi informasi yang tidak seiring dan sejalan dengan spiritualitas bisa berujung pada ketidakenakan bersama. Contoh paling mudah adalah bagaimana sikap ketika mau meneruskan pesan, status, atau cuitan.Â
Merasa kalau tidak cepat akan dinilai lambat, terbelakang, dan sebagainya. Posisi ini yang dimanfaatkan pihak yang mau memnbuat ketidaknyamanan bersama. Beda jika itu hanya candaan dan lelucon, bagaimana jika hal yang penting dan bermanfaat, namun ada sebagian fakta yang disembunyikan?
Spiritualitas, penerimaan diri, dan kesanggupan untuk menjaga jarak dan mencoba lepas kepentingan menjadi penting. Mengapa? Menahan diri itu ranahnya spiritual dan yang bernuansa rohani. Cepat namun kelewat sangat bersifat fisik. Dan di sinilah manfaat media sosial tidak lepas dari yang rohani dan spiritualitas. Cepat boleh asal dengan cermat dan bijaksana.
Kampanye paling cepat itu hebat perlu rem yang sepadan. Ketika sifat kritis itu kuat, tidak serta merta melepaskan diri dari sikap untuk bisa menimbang baik, benar, dan buruk serta salah. Mendesak dan penting atau tidak.
Salam