Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

FPI, RS, Pangemanann, dan Kepolisian Hari Ini

30 Januari 2018   09:31 Diperbarui: 30 Januari 2018   10:51 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

FPI, Robert Suurhof, Pangemanann, dan kepolisian hari ini, FPI hanya meminjam "watak" bukan  kelompok atau federasi ini, kalau mau sensi lebih baik baca dengan baik dan menyeluruh, lebih baik lagi baca Tetralogi Pramudya Ananta Toerdulu, dari pada malu. Robert Suurhof adalah anak indo, merasa ada darah Belanda dan memiliki kelas lebih. Hendak "mempermalukan Minke yang dianggap sebagai pribumi semata. 

Permainannya adalah penekatan pada Anelis, seorang puteri indo dari seorang Nyai dan Belanda. Dengan dasar untuk melecehkan dan mempermalukan, ternyata malah benar-benar Minke yang "menang" besar. Hal ini dari pembuka pada buku pertama hingga ke empat, selalu ada. Antara RS dan Minke. Pad bagian akhir ada pihak lain, yaitu "intelijen" pribumi yang merasa Belanda dan menjadi "pengusik" Minke dan pergerakannya.

Kekelahan yang telak itu ternyata membuat RS makin membenci Minke dengan reputasi kebuayaannya dan darah yang ada. Minke sebagai seorang berwibawa dan sangat laris di depan lawan jenis, padahal pribumi membuatnya makin jengkel dan sakit hati. "Musuhnya" tetap Si Minke.

Pangemanann, seorang petinggi polisi, bahkan "pribumi" yang menduduki jabatan paling top, sudah tidak akan ada lagi, bukan totok bisa duduk di sana. Ia adalah "alat" semata bagi pemerintah Hindia Belanda, konflik batin hingga akhir, bahkan anak dan istrinya pergi meninggalkannya. Hancur sehancur-hancurnya karena "kekalahan" oleh Minke yang identik apa yang dialami RS. Padahal mereka pun pernah berkolaborasi untuk mengalahkan Minke. Kerja mereka berdua, dengan otak dan otot tidak bisa mengalahkan seorang Minke dengan pena dan kepalanya.

Kuasa Pangemanann yang bisa "meniup" hidup Minke bahkan hingga dibuang ke luar Jawa, pun merampas semua perolehan Minke, masih belum mampu "memadamkan" Minke, tangan kotor dan kasar, dipakai, dan Eyang Pram sungguh piawai, ternyata memapakai jas dan tangan kotor RS. Pangemanann jelas tidak mau dan tidak boleh kotor, pun polisi, kalau insiden RS dan kelompoknya ketahuan, mereka berhenti untuk tidak mengaku ada perintah dari Pangemanann, intelijen Hindia Belanda. 

RS benar-benar habis, saat mencoba menghabisi Minke malah kalah telak oleh seorang perempuan (kog indentik dengan RS yang satunya, apakah settingan menggunakan kisah ini, atau memang kehendak Alam?). Seornag puteri raja yang dikarantina oleh Pangemanann dan istri kesekian Minke karena istri-istri yang terdahulu direnggut oleh para penjajah dengan berbagai cara yang seolah-olah legal.

Kecerdikan memainkan peran, ego laki-laki yang tidak mau kalah dengan jeli dikolaborasikan oleh Eyang Pram untuk menjadi musuh dan pelawan atas kehebatan dan kecerdikan Minke. RS yang kalah dalam studi dan reputasi, merasa darahnya bisa mengalahkan ternyata tidak dengan mudah Minke mengaku kalah. Watak pribumi yang salah terka oleh RS. Pun Pangemanann dengan bangga dobel n biar bukan Minahasa itu merasa Belanda dan pernacis yang mendidiknya benar-benar bisa mengalahkan Minke dengan reputasinya. Semua kalah dan telak di mana para pribumi main cantik dan menang. Pangemanann yang merasa Eropa memberinya legalitas untuk setara ternyata juga bermain kotor dan licik karena kalah langkah oleh Minke.

Beberapa kali, peristiwa, dan kejadian, sering polisi menjadi kewalahan, bahkan seperti gamang ketika berhadapan dengan gerombolan, massa, dan hukum jalanan yang terjadi. apakah warisan kolonial sebagaimana dikisahkan Eyang Pram itu yang ada?

Menggunakan kelompok-kelompok tertentu untuk mengambil alih atau mengambil peran yang menjadi reputasi polisi tetap baik. Sehingga ketika mereka "mengambil inisiatif" berbuat sendiri, mereka tidak berdaya. Ada sebuah berita yang sangat miris bertahun lalu, ada perempuan yang dilecehkan, polisi hanya mengatakan "mengalah saja Mbak...." ada pelanggaran hukum, susila, eh diminta mengalah, penegak hukum di tengah gerombolan sok menegakan hukum lho.

Memanfaatkan luka batin, dendam, dan sakit hati untuk sedikit digosok dan ditaburi garam, sehingga sangat perih, ketika melakukan tindakan di luar hukum mereka menjadi "beringas dan semangat" mereka jadi abai dan lupa kalau mereka melanggar hukum, apalagi ada "perlindungan hukum juga" di balik aksi mereka sehingga tidak akan fatal di bui sekalipun, lebih banyak lolos dan dalih kurang bukti atau  nanti kantor polisi digerudug, sudah lebih baik tidak diteruskan.

Penegakan hukum bukan hukum rimba. Hukum rimba itu pokoknya kuat dan besar, selalu benar dan bisa mengubah yang salah menjadi benar dan sebaliknya. Hal ini nampak menjadi sebentuk kebiasaan baru di dalam hidup bersama. Jangan sampai nanti menjadi budaya yang mengubah seluruh tatanan hidup bersama. Amanat UU jelas ada pada kepolisian, aksi di luar polisi berarti melanggar hukum.

Apa fungi ormas? Menjaga keadaan sesuai dengan koridor hukum, jika ada pelanggaran polisi dan pengadilan yang memutuskan bukan keputusan sepihak dan tafsir sendiri.

Salam

Insspirasi: Tetralogi Pramudya Ananta Toer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun