Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melihat Kepemimpinan Edy Rahmayadi, Membandingan Gaji dengan Evan Dimas

25 Januari 2018   10:33 Diperbarui: 25 Januari 2018   10:39 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat kepemimpinan Edy Rahmayadi, membandingkan gajinya dengan Evan Dimas, tentu menarik, sebagai salah satu kandidat gubernur Sumatera Utara, Pangkostrad, dalam konteks gaji masih aktif lho, dan juga ketua umum PSSI. Sangat  mendasar apa yang dikatakan tersebut, panglima yang mengaku bergaji 30 juta dan dibandingan Evan Dimas yang 100 juta.

Nada iri bisa dibaca, bahwa karyanya 30 tahun dengan 30 juta, tidak sebanding dengan apa yang akan diperoleh Evan Dimas. Lha kalau dibandingkan Messi, Neymar, dan Ronaldo, apalagi, per pekan mereka masuk angka M.  Mencoba mengerti apa sih maksudnya, apalai campur aduk, sebagai petinggi PSSI, malah mengatakan gaji  tentaranya. Jika sebagai ketua PSSI seharusnya bangga dengan capaian "binaannya" bukan malah seolah iri dan seolah mematahkan semangat.

Menyaksikan hal itu, jadi ingat, ada punggawa timnas yunior yang harus "melepas" kaus tim kebanggannya untuk dilelang dan digunakan untuk operasi karena cidera. Ke mana perhatian ketua PSSI ini? kog tidak bilang kaos 500.000 dibandingkan dengan gajinya. Perhatian itu justru pada yang demikian, bukan malah yang berprestasi.

Memang bahwa yang cidera dan posisi Evan tidak serta merta bisa menjadi pembanding. Namun melihat apa yang dicapai di PSSI, untuk menjabat gubernur, nampakny susah.  Prestasi apa yang ditorehkan sebagai ketua umum PSSI?

Prestasi, permainan timnas yang bagus, bukan karena pembinaan tangan dingin Pak Edy. Bakat alam yang memang luar biasa, ditempa pelatih-pelatih profesional, dan lahirlah talenta-talenta baik. 

Prestasi atas tangan dingin Pak Edy belum nampak dengan konkret. Memang prestasi tidak hanya satu tangan dan sesaat seperti membalik telapak tangan. Namun melihat keberadaan liga dan berita yang menyertai, tidak ada perubahan yang signifikan. Penyakit lama masih saja begitu dan begitu.

Memilah dan memilih nampaknya belum bisa, gaya masa lalu banget. Acara PSSI mengenakan seragam militer, lengkap lagi, bicara sebagai ketum PSSI pun membandingkan gajinya, padahal gak jelas tidak bisa. 

Coba menggunakan pikiran jernih, berapa lama gaji itu, bahkan ada pensiun. Pemain bola paling banter dua puluh tahun masa kerja, pun puncak gaji, jarang yang mampu lima belas tahun. Sangat terbatas. Jika bijak melihat, tentu tidak akan mengucapkan soal itu, susah melihat itu sebagai sebentuk motivasi. Artinya,   sebagai bapak, pemimpin, dan pembina sangat buruk.

Memberikan dorongan, motivasi, dan membesarkan hati itu penting. Apakah mudah dilakukan? Jika pribadi tersebut kerdil jiwanya, ya susah. Bagaimana mau membagikan apa yang ia sendiri kurang, apalagi tidak ada kemauan untuk itu. 

Salah satu tugas penting pemimpin itu adalah menyemangati, apalagi  hasil  tinggal panen, bukan jeris lelah sendiri. Apa sih susahnya? Tidak ada yang salah dengan pilihan main di luar negeri. Peraturan jelas kog FIFA soal pemain saat klub dan timnas main.

Melihat keadaan itu, nampak wawasan soal pemain yang bermain di luar negeri masih terbatas. Regulasinya jelas, klub harus  melepaskan pemainnya, apalagi masuk dalam kalender FIFA. Malahan kub bisa diberi teguran bahkan hukuman jika melanggar aturan ini.

Apalagi kini melimpah menjadi birokrat, banyak hal yang perlu dipelajari lagi. Hubungan birokrasi dengan militer berbeda jauh, bukan hirarkhi sekaku militer. Berbahaya nanti jika tidak disadari, akan timbul kelucuan dan kekacauan kecil seperti ini. Toh meskipun kecil bisa panjang rentetannya.

Pemisahan dengan baik apalagi jika rangkap jabatan di PSSI. PSSI oleh fulltimer,saja kacau balau, apalagi mendua dengan menjadi gubernur, jauh lagi secara geografis. Memang dengan video konferensi, atau pesawat, semua bisa dijembatani. 

Namun ini soal tanggung jawab dan kepercayaan yang tidak main-main. Pun Sumatera Utara yang lebih sering masuk bui KPK memerlukan penanganan serius. Melihat "kekacauan" selama ini, sebaiknya memang fokus salah satu. PSSI tidak bisa main-main, pun gubernur.

Melihat iklan layanan masyarakat PSSI sang ketua umum mengenakan seragam lengkap bintang tiga militer, jelas sekilas orang akan mengaitkan dengan pilgub. 

Susah melepaskan hal itu, padahal ketua umum PSSI, mengapa seragam TNI? Namanya iklan tentu sudah ada setting, ada pembicaraan, rencana, dan panjang, bukan dadakan yang karena usai upacara misalnya. Ini bukan wawancara, namun iklan. Tidak salah jika ada dugaan memang direncanakan.

Melihat pola kerjanya yang demikian, susah melihat sebagai seorang pemimpin yang akan bisa bekerja profesional, bijaksana, dan taat azas. Memang satu dua kasus bukan keseluruhan pribadi, namun dengan keadaan-keadaan demikian, bisa menjadi perhatian bahwa ada potensi penyelewengan yang tidak main-main.

Kesadaran untuk bersikap nampaknya belum ada. Kebiasaan militer yang selalu "benar" itu susah untuk luntur. Mana ada anak buah yang berani menegur pimpinan, apalagi nanti gubernur lho, siapa yang akan mengatakan kalau salah?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun