LGBT dan Zulkifli Hasan, serta politik LGBT ala PAN, hari-hari ini heboh lagi soal LGBT, ditingkahi komentar ketua MPR, Zulkifli Hasan, yang jauh lebih kerasa nuansa politisnya daripada kemanusiaan soal  pro dan kontra mengenai hal sensi tersebut. Bagaimana tidak, ketika menyatakan sekitar separo fraksi di dewan setuju mengenai LGBT ini, padahal dianya tidak ikut dalam diskusi tersebut.
Ini lepas dari soal heboh, panas, dan tarik ulur, serta pro dan kontra LGBT secara langsungnya, namun perilaku PAN pun tidak urung mirip dengan perilaku yang ia katakan jijik itu. Bahasa Om Dono almarhum Kanan Kiri OK, bagaimana tidak, mereka mendapatkan jatah menteri, pun di parlemen dan keseharian menggebugi pemerintah tanpa merasa bersalah.
Negara demokrasi, bukan oklokrasilho ya, hanya akan ada dua "kubu" oposisi dan pemerintah. Pun itu negara parlementer, bukan presidensial. Entah aneh atau naif di sini ini, ada presidensial naun memiliki oposisi. Komplit pokoknya lah, mau presidensial serasa parelemn atau parlemen sok kuat dan sebagainya. Yang jelas parlemen bisa sering menyandera pemerintah dengan okol mereka.
Sejarah keanehan ala PAN ini sejak pra pilpres dengan mengusung sang ketua umum mereka kala itu menjadi calon wakil presiden dan kalah, kemudian menyandera dewan sehingga ada pemenang pemilu menjadi penonton di legeslatif. Mereka main kayu dan menyabot seluruh alat kelengkapan dewan hingga berkepanjangan. Pemerintah susah bekerja karenanya, PAN mendapat satu jatah kursi wakil ketua di dewan dan ketua di majelis. Â Artinya jelas mereka memang "berseberangan" dengan pemerintah. Hal yang bermartabat, berkelas, dan memang harus demikian.
Manufer terjadi, pergantian ketua umum, dan mulai mindik-mindikke istana. Kursi menteri pun diperoleh. Suka cita, merasa satu barisan dengan pemerintah, pun ada kursi empuk di sana. Namun, aneh dan lucunya, strategi, pilihan, dan keputusan pemerintah, jarang yang diamini dan diikuti oleh partai ini. Â hal-hal strategis hidup berbangsa dan bernegarapun beda arah dengan pemerintah. Apalagi jika berkaitan denga pilkada, jelas berseberangan dengan pemerintah.
Mau LGBT bersih dari negeri ini? Ah mana bisa, perilaku mendua dalam sikap PAN ini saja seolah menegaskan memang gaya hidup mereka yang demikian. Hal ini soal sikap mental, karakter, dan kemauan. Pilihan jelas saja bisa seenaknya dilanggar demikian, apalagi yang tidak menguntungkan mereka. Jangan ngamuk, guling-guling, dan merasa dikadalin kalau melihat potensi tuntutan kelompok yang dianggap "menjijikan" itu makin kuat, lha nyatanya perilakunya sendiri pun tidak jauh berbeda.
Malu menjadi oposisi, atau merasa oposisi kering kerontong? Hal yang sama terjadi dalam orientasi seksual, jangan-jangan bosan dengan lawan jenis nanti pengin mencoba sejenis atau yang sebaliknya, kacau kalau demikian dunia persilatan, eh dunia politik dan kehidupan bersama.
Kesetiaan akan komitmen dan azas sangat rendah di dalam berpolitik dan hidup bersama. Rekam jejak itu sangat gampang, bahkan sepele untuk kemudian dibuka. Sadarlah sebelum mempermalukan diri sendiri dengan pilihan dan pernyataannya. Perlu banyak belajar bersikap bijaksana bukan asal menguntungkan secara politis.
Bijaksana itu tidak berkaita dengan pendidikan, namun spiritualitas yang tinggi. Bagaimana seorang elit bangsa bisa berkata demikian, lepas dari fakta yang ada, dan menyakitkan pihak-pihak lain, ingat mereka juga anak bangsa lho, jangan merasa itu orang asing atau alien. Benahi, ajak omong, bukan malah dihakimi dengan semena-mena demikian.
Karakter demokrasi harus tercipta, sehingga tidak bisa main seenaknya sendiri dengan dalih ka demokrasi itu cair, cair dan dinamis pun masih ada etika yang patut diikuti, bukan asal mmenguntungkan diambil dan ketika merugikan atau tidak ada apa-apa ditinggalkan. Khas banget karakter parpol demikian, main potong kompas dan enggan kerja keras. Menggunakan artis meskipun nol kompetensi di dalam dunia politik dan demokrasi, salah satu bukti sahih perilaku mereka.
Mengatakan ah itu bukan itu maksudnya, media melintir tuh kalimat saya, kembali menjadi gaya oklokrasi,sikap tidak mau bertanggung jawab atas perilaku salah dan keliru. Selalu berulang. Bangsa ini perlu diruwat agar lepas dari sengkala. Bagaimana tidak dengan seenaknya sendiri ellit lagi bisa berbicara seenak udelnya dan mengatakan khilaf itu masih lebih baik dari pada menyalahkan pihak lain.