Beneran Wiranto lebih konsisten dari Jokowi? Menarik, usai drama Hanura kemudian ada pergantian menteri dan lingkaran istana, Â pandangan soal menteri rangkap jabatan dan Wiranto yang enggan turun tangan kembali untuk memegang Hanura. Tentu membandingkan posisi Pak Wiranto dan Pak Jokowi, tidak linier-linier banget. Umpama duren dengan kedondong, jauh lah. Beda jika pembandingnya adalah Pak Beye dan Pak Wiranto saat gonjang-ganjing masalah Anas dulu, Pak Beye langsung turun glanggang dengan sekjend yang putera. Beda kasus juga sebenarnya.
Apreasiasi bagi Pak Wiranto yang tegas menolak untuk turun kembali menjadi ketua umum Hanura. Patut mendapat acungan jempol memang. Namun toh demikian, Hanura tetap saja "milik" Pak Wiranto. Jangan salah, pendiri partai di Indonesia, akan selalu menjadi "pemilik". Lihat saja bagaimana kedua kubu tetap saja masih menggunakan isu Pak Wiranto, bahkan hanya WA saja diklaim sebagai dukungan, atau ketemuan, keduanya tetap  mengharapkan bertemu. Tentu tidak sesederhana apa yang dialami Pak Jokowi sebagai presiden dong. Implikasi terlalu luas bagi seorang presiden.
Airlangga dan rangkap jabatan. Sangat bisa dipahami, kalau presiden tetap menggunakan Pak Airlangga sebagai menteri. Berbagai alasan masuk akal. Pertama, Pak Airlangga itu menteri pengganti. Kedua ini kementrian teknis yang tidak dengan mudah bisa langsung bekerja. Ketika sudah jadi menteri baru menjadi ketum partai karena adanya kecelakaan sejarah dalam partai. Keempat, masa bakti kabinet tinggal sejenak saja. Dengan pertimbangan beberapa aspek itu sangat wajar jika seolah presiden tidak konsisten dengan pilihan Pak Airlangga rangkap jabatan.
Presiden itu jabatan yang sangat kompleks, politik, birokrasi, toh kadang masih juga bicara sosiologis. Semua bidang dan aspek perlu dipertimbangkan dan menjadi bahan untuk mengambil keputusan. Lihat saja bagaimana secara politik Golkar yang banyak faksi itu perlu untuk dukungan suplai dalam pemerintahan. Boikot di parlemen ala KMP masa awal pemerintahan dulu bisa menjadi repot. Tentu berbeda dengan kondisi Pak Wiranto bukan? Tanpa perlu turun tangan saja bisa diselesaikan dengan baik. Toh masih dalam kendali Pak Wiranto. Â Mengatakan Pak Wiranto lebih konsisten atau kurang konsisten tentu tidak sesederhana itu.
Bangsa ini bangsa yang terlalu besar dalam banyak hal. Apalagi masa seperti sekarang ini, hal kecil saja bisa menjadi apa saja. Masalah menteri bisa berimbas apapun. Padahal masih perlu banyak menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih mengambang, sudah berjalan, dan tinggal penyelesaian. Pergantian dengan tidak terlalu signifikan, tanpa ada melanggar hukum, tentu sangat wajar jika dilakukan. Risiko pembangunan yang disandang Pak Jokowi, apalagi jika karena pergantian yang tidak juga banyak berpengaruh itu, kemudian gaduh lagi seperti awal pemerintahan, ingat yang dirugikan bangsa dan negara. Tentu sangat tidak mudah mengendalikan gaya partai politik yang model preman di Indonesia.
Kondisi demokrasi yang masih acak kadut tentu menjadi salah satu pertimbangan presiden. Sebenarnya hal lumrah adanya pergantian menteri itu, bagi negara yang sudah maju. Sistem yang bekerja bukan orang lagi. Indonesia masih terpaku pada orang, identitas orang, dan sejenisnya. Susah juga, misalnya Pak Airlangga memilih salah satu, memilih jadi menteri dan melepaskan Golkar, Golkar  potensial kisruh lagi, atau memilih Golkar, alasan di atas soal menteri perindustrian bisa kacau. Mengapa? Minim kader yang mumpuni.
Kader yang bisa merangkul semua pihak di dalam faksi-faksi internal partai tersebut, pun bisa bekerja dengan baik di dalam kabinet. Selama ini kan jelas dengan mata gamblang parpol sangat lemah, bahkan memalukan dalam hal ini. bajak membajak, jegal menjegal, dan mengambil pesohor untuk menjadi calon ini dan itu, jelas memperlihatkan kalau partai gagal dalam kaderisasi.
Posisi Pak Airlangga yang aman dalam  banyaknya faksi dan kepentingan di Golkar dengan mudahnya kemarin ditunjuk menjadi ketua umum, tentu sangat menentukan bagi pemerintah juga. Menghabiskan energi model perselisihan dalam partai politik di Indonesia. Semua kena imbas dan pengaruhnya. Hal ini tentu menjadi pertimbangan untuk mengizinkan Pak Airlangga tetap pada jabatan menteri dan menjadi ketua umum.
Berbeda jika memang demokrasi yang dijalankan di Indonesia sudah maju, modern, dan mapan. Sistem yang bekerja, bukan orang. Orang hanya menjadi legalitas dan pengambil keputusan, organisasi bisa berjalan dengan pergantian kapanpun dan dengan siapapun. Gejolak tidak terlalu signifikan.
Memang tidak mudah mengelola negeri sebesar ini, sebanyak ini etnis, suku, ras, dan banyak  keuinikan lain lagi.  Kebijakan tidak mudah, karena bisa menimbulkan ketidakrelaan pihak lain. Tidak mungkin menyukakan semua pihak, masih ditingkahi sifat kekanak-kanakan dalam berdemokrasi. Semua perlu dipertimbangkan. Ada yang kecewa ada yang senang, paling tidak mencoba mengedepankan sikap menang-menang. Kalah-menang dan sebaliknya, membuat banyak masalah.
Konsistensi itu bukan soal satu dua kasus, namun dalam sebentuk rangkaian yang perlu dinilai. Hal-hal yang melingkupinya pun turut andil dalam memutuskannya. Tidak sesederhana duren beda dengan rambutan. Mirip dengan milih duren lokal atau sudah disilangkan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H